Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

ada 3 orang dalam foto yang duduknya 1 shaf, paling kiri dalam foto ada pak chandra dengan baju hitam membawa braile display sebagai alat bantu komunikasi teman tuli netra, lalu ditengah ada alice teman tuli buta yang menggunakan alat bantu google suara ke teks, dan paling kanan ada host phasha menggunakan baju hitam yang menjadi pembawa acara podcast

Bahasa yang Menyentuh atau Melukai? Mari Bicara Soal Istilah Buta

Views: 20

Solidernews.com – “Kenapa ya penyebutan kami diubah jadi Netra mas”?, sebuah pertanyaan yang diungkapkan oleh Chandra, Seorang difabel netra yang sekaligus Tuli saat bertemu dengan Saya beberapa waktu yang lalu. Pertanyaan singkat yang membuat saya berpikir kembali mengenai benar atau tidaknya ucapan saya sesaat setelah selesai proses syuting podcast praktik baik Bersama Chandra Gunawan Ketua PELITA Indonesia ( Yayasan Pemberdayaan Tuli Buta), jujur setelah mendengar pertanyaan tersebut saya tidak mampu langsung menjawabnya bukan karena saya tidak menyadari letak salahnya ataupun kurang mendengarkan yang diucapkan Chandra tetapi saya merasa heran kenapa ini harus ditanyakan bukankah ini sudah baik dan tidak menjadi masalah selama ini. Karena kebingungan inilah saya tidak langsung menjawab dan justru bertanya kepada Chandra, “memang ada apa ya pak Chandra dengan kata Netra” sembari saya menunggu juru Bahasa ketik dan pendamping memberikan pertanyaan itu kepada Chandra melalui braile display dan garis tangan untuk mempermudah diskusi. Seteah dua menit berlalu,  Chandra akhirnya menjelaskan ke saya bahwa selama ini mereka tidak terbiasa dengan kata difabel netra ataupun netra, dengan guyonan (bercanda), ia mengatakan bahwa film Indonesia si buta dari gua hantu kalau diganti si difabel netra dari gua hantu gak akan keren lagi.

Chandra juga menjelaskan bahwa secara Bahasa, Blind itu artinya Buta yang seharusnya tidak menjadi masalah jika teman netra disebut buta, bahkan jika mengutip dari suatu buku ciptaan Helen Keller “The Story of My Life” dan berbagai surat serta pidato publiknya, ia sering menyebut dirinya “deaf and blind” atau “a blind person”. Ia tidak menggunakan istilah yang meredam atau memperhalus—karena baginya, istilah itu adalah fakta, bukan celaan.

Lalu saya berfikir apa yang menjadi akar dari permasalahan ini?  Kenapa buta menjadi konotasi negatif? ternyata akarnya adalah bahasa dari kehidupan sehari-hari yang tidak disadari oleh masyarakat seperti penggunaan kata buta hati untuk penyebutan tidak punya empati, buta arah untuk menyebutkan orang yang tidak tau arah jalan, dan lainya dimana itu semua mengarah pada hinaan dan candaan yang maknanya untuk sesuatu yang kurang, lemah atau tidak sempurna. Lalu kurangnya pemahaman Inklusif di masyarakat mengenai individu netra yang walaupun ada hambatan di penglihatan, mereka juga memiliki kemampuan, potensi, dan hak yang sama oleh sebab itu penyebutan buta sering direspon kasihan, ejekan dan penghinaan.

Tidak hanya pengetahuan tentang inklusif dan bahasa saja, setelah saya mencoba mengulas balik masa sekolah dan kuliah saya penggunaan kata buta menjadi sebuah hinaan juga berasal dari pengaruh media dan budaya popular dimana orang buta digambarkan sebuah karakter sangat lemah atau justru memiliki kekuatan ajaib yang ini sangat menghambat pemahaman secara realistis tentang teman netra.

Akhirnya setelah dijelaskan oleh Chandra saya mencoba menjawab pertanyaanya dengan jujur, “Karena kata buta sering dianggap kasar. Banyak orang merasa itu menyakitkan. Jadi saya pikir lebih baik memakai kata netra.” Tapi ia hanya mengangguk dan berkata, “Padahal kami yang buta sendiri nggak merasa itu kasar. Yang bikin sakit justru kalau kamu menghindari kata itu, seolah-olah buta itu memalukan.” Itu adalah tamparan yang halus tapi dalam. Seketika saya teringat betapa sering kata “buta” dipakai dalam konteks negatif: buta hati, buta arah, buta huruf. Semuanya menyiratkan kebodohan, kekurangan, ketidaktahuan. Maka tak heran kalau kata itu ditakuti namun, yang kadang kita lupa adalah bahwa kata tidak pernah berdiri sendiri. Kata selalu membawa niat, konteks, dan posisi kuasa. Ketika kita menyebut seseorang “buta”, masalahnya bukan pada kata itu sendiri, tapi pada cara dan niat kita mengatakannya. Apakah kita mengatakannya dengan hormat, atau dengan nada merendahkan.

Kunjungan ke PELITA itu memberi saya pelajaran penting bahwa bahasa inklusif bukan sekadar soal mengganti istilah, lebih dari itu ini soal keberanian untuk mendengarkan mereka yang selama ini dinamai, dilabeli, dan didefinisikan sebagai orang lemah tak berdaya, di PELITA mereka menunjukkan kepada saya bahwa mereka tidak meminta diperlakukan bak malaikat atau pahlawan. Mereka hanya ingin dikenali sebagaimana adanya sebagai manusia yang bisa melihat dunia dengan cara berbeda dan bagi sebagian dari mereka, menyebut diri sebagai “buta” bukan hal yang harus dihindari, melainkan bentuk keberanian untuk berdamai dengan identitas.

Dari obrolan saya dengan Chandra ini saya berfikir apa yang bisa dilakukan oleh teman-teman diluar sana untuk menjadi lebih inklusif dan menghormati?, jawabanya mungkin tidak bisa hanya satu dan mewakili seluruhnya karena ada yang nyaman disebut buta, ada juga yang lebih suka netra, maka mungkin langkah terbaik adalah bertanya sebelum menyebut, dan mendengarkan sebelum menilai, jangan buru-buru mengoreksi orang lain jika mereka memakai istilah yang berbeda. Mungkin justru dari situlah percakapan yang hangat bisa dimulai, dan untuk saya pribadi, sejak hari itu saya mulai lebih hati-hati bukan dalam memilih kata, tapi dalam memahami makna di balik kata. Karena bahasa yang menyentuh, bukan yang sempurna. Tapi yang jujur, dan lahir dari rasa hormat.

Bahasa bisa menjadi penghubung seperti jembatan, bisa juga menjadi tembok penghalang. Tapi jika kita membuka ruang untuk bertanya dan mendengarkan, saya percaya bahasa bisa jadi alat untuk merawat kemanusiaan. Termasuk dalam hal sekecil atau sebesar memilih antara “netra” dan “buta”, dan untuk Chandra yang bertanya hari itu terima kasih. Karena lewat pertanyaanmu, saya belajar kembali untuk menyapa manusia, bukan sekadar menyusun istilah.[]

 

Penulis : Lio P Phasha (Media Program GOOD SIGAB Indonesia)

Editor     : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

berlangganan solidernews.com

Tidak ingin ketinggalan berita atau informasi seputar isu difabel. Ikuti update terkini melalui aplikasi saluran Whatsapp yang anda miliki. 

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content