Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Bagus Utomo : Setelah 20 Tahun Berjuang, Sekarang Banyak Komunitas Isu Kesehatan Jiwa

Views: 26

Solidernews.com – Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI)  berusaha memberdayakan diri sendiri dan berbagi edukasi kepada yang lain. Setelah 20 tahun memperjuangkan hal ini  terus-menerus lalu sekarang  banyak komunitas baru  bermunculan di isu kesehatan jiwa. Diakui bahwa KPSI-lah  yang pertama  mengusung isu kesadaran kesehatan mental.

Akhirnya pada pegiat di KPSI,  didapati kenyataan bahwa  isu mental health yang lain ternyata  jauh lebih besar misalnya :  gangguan depresi, kecemasan, akhirnya ada yang mengurusi. Kalau hari ini komunitas-komunitas tersebut menjadi besar berarti kampanye yang dilakukan oleh mereka adalah tepat sasaran. Demikian dikatakan oleh Bagus Utomo, founder Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) di sela-sela Pekan Sehat Jiwa oleh Kemenkes, Oktober di Jakarta beberapa waktu lalu. Berikut petikan wawancara dalam format tanya jawab.

Tanya : Bagaimana kondisi terkini terkait perkembangan isu kesehatan mental?

Jawab : Seperti yang  pernah dibilang dokter Hervita pada suatu acara, saat ini, di tahun 2024 pasien rumah sakit jiwa masih didominasi oleh pasien skizofrenia.  Dulu sempat berpikir bahwa nanti akan  menjadi bonus demografi 2030. Istilahnya, kalau tidak aware maka akan jadi burden. Karena anak anak sekarang suka “menggaris – garis tangan, menyakitin diri sendiri terus sharing. Juga fenomena new religion , banyak orang gundah yang salah memahami itu lalu terjadi misalnya konflik-konflik di media sosial, lalu menjadi adiksi media sosial, adiksi narkoba. Dan tidak  semua komunitas ngerti evidence based medicine. Jadi keprihatinan kita dan tidak mudah mencari relawan mental health sebab hingga hari ini masih kita temukan “lu lagi, lu lagi.”

Tanya : Bagaimana terkait pendekatan medis dan HAM? Bukannya keduanya sangat penting?

Jawab : Pendekatan farmakologi tetap nomor satu, tetapi ada NGO yang kurang mengerti. Dia pendekatannya HAM memang, dan masih drug shaming. Menurutnya orang kalau masih minum obat buruk. Di masyarakat, orang   yang alami cemas diharapkan dia punya coping strategi yang baik. Tapi kalau skizofrenia  apa boleh buat,  sehingga yang mengedukasi selalu seimbang sesuai kebutuhan.

Tanya : Bagaimana perkembangan pengobatan selama ini?

Jawab : Sejauh ini, generasi obat yang sekarang sudah bagus dan memang untuk obat generik yang  tidak turun harga banget. Itu misalnya 30% dengan merek baru.

Dalam pelaksanaan pemberian obat itu sendiri masih ada permasalahan di dalamnya, misalnya  obat suntik bulanan yang diberikan jangka panjang masih dianggap seakan-akan jika diresepkan menguntungkan pabrik obat. Padahal pabrik obat sendiri sudah banting harga supaya bisa diakses oleh BPJS Kesehatan. Cuma kadang-kadang ada tirani biaya  karena BPJS Kesehatan seringkali ada problem seakan-akan harus tekan biaya. Jadi BPJS kadang tidak relevan juga karena sekarang harga obat juga sudah bagus. Maka  lebih baik diberikan yang itu daripada dikasih obat generik yang bikin kaku-kaku, ngeces.

Psikiater sebagai narasumber lantas masih  melihat agak kurang percaya diri atau diliputi konspirasi  teori soal farmasi, disuruh minum ini supaya ini, teori konspirasi yang seharusnya tidak di-keep lagi. Sekarang kita pakai logika

Kemudian di samping itu para  dokter bisa resepin lebih banyak tetapi sekarang dokter tidak mau karena bayarannya dari BPJS kecil. Maka berilah  pasien yang sebagus-bagusnya. Cuma kadang ferivikator BPJS-nya yang kadang-kadang  ini di-acc, ini nggak di-acc.

Tanya : Bagaimana kondisi di daerah terkait kesenjangan?

Jawab : Yang 20 tahun lalu kita rasakan  masih kita rasakan di daerah-daerah terutama yang  tidak punya rumah sakit jiwa. RSUD harusnya punya,  masak tidak punya. Ada kesenjangan.  Kebijakan pengadaan harusnya juga berubah. Kenyataannya masih begini. Kalau ada dokter ahli misal TBC, ada teknologi di luar negeri ada dukungan  “ini terobosan baru. Bisa menyembuhkan pasien sekian persen,” Lantas dokter spesialisnya dikatakan “Selamat. Kalau bisa segera tuh,datang ke Indonesia teknologi itu atau obat biar segera saya resepin.”

Namun, kalau psikiater masih belum kayak gitu. Profesinya terstigma dan dia juga rendah diri. Harusnya kan, “Ayo ini ada obat suntik bulanan. segera ini pasienku banyak yang butuh ini.”

Ada yang tidak  mau memburu obat, hingga  kalau bisa pakai suntik bulanan. Masa mau kasih minum berdebat melulu :  pagi berdebat, siang berdebat. Mau sampai kapan kayak gitu.

Tanya : Bagaimana dengan cross cutting isu lainnya?

Jawab : Ini isu cross cutting difabilitas dan dulu puskesmas tidak tahu program kesehatan jiwa. Setelah tahu pengetahuan keswa, baru dia melek. Untuk teman yang hanya gejala tahap stabil biasa ditangani. Setelah ada standar pelayanan,  dia baru tahu bahwa di isu lansia ada masalah disabilitas, ada cross cutting isu. Ada masalah Tuberkolosis juga  kanker.

Masalah kesehatan jiwa itu. “setelah saya skrining saya merasa buruk, Mas, atau  saya overload. “Dia petugas kesehatan. padahal perlu kesadaran tentang itu. Masalah kesehatan jiwa itu cross cutting sektor. Terlalu besar kalau dihadapi sendirian. artinya kalau hanya mengandalkan petugas kesehatan jiwa saja.

Suatu saya presentasi di pertemuan PDSKJI.  Saya mengangkat masalah. bertahun-tahun petugas kesehatan membanggakan konsep desa siaga sehat jiwa. Saya bilang berkali-kali kalau itu gagal karena itu didorong dana pasca sunami. Petugas kesehatan seakan-akan euforia. “bisa mewujudkan impian gue.”

Memang proses. tetapi permasalahannya kadang profesi kesehatan jiwa itu jadi seperti tirani juga. Dia tidak mau menerima masukan. Dari sebuah penelitian akhirnya diketahui bahwa di tahun sekian ini bahwa orang-orang yang dulu dilatih program desa siaga sehat jiwa sudah pindah ke mana-mana.

Apalagi dana dari luar negeri sudah berhenti. Sudah di hand over semua ke Indonesia. Negara tidak ada budgetnya. masa perawat sehat jiwa harus mengurusi pemberdayaan, melatih keterampilan di luar jam kerja dan  mendampingi di rumah. Maka di sini komunitas atau masyarakat jadi dilatih juga untuk aware yang kemudian dia pulih lantas jadi bagian dari perubahan dengan mengedukasi yang lain.

Tanya : Bagaimana dengan asuransi difabel atau bagaimana tentang Konsesi?

Jawab : Saya ngomong ke mana-mana soal asuransi disabilitas, yang dimaksud salah satunya adalah konsesi. Misalnya  orang yang low vision. dia periksa ke dokter untuk membeli kaca matanya tidak ditanggung BPJS Kesehatan karena khusus banget,  nah itu bisa ditanggung melalui asuransi disabilitas. Atau orang netra butuh latihan penggunaan tongkat.  Ketika dia mengalami kebutaan,  dia harus  dikasih akses langsung di pusat  pelatihan ini. Di Australia sudah begitu,  misalnya kursi roda, ada daftarnya, ada vendornya, mau pilih mana diajuin ke asuransi disabilitas.

Jadi modelnya tidak seperti yang sekarang :  bansos.  Harusnya dibikin seperti badan dan dibikinnya bukan kaya seperti kita ngemis. Karena memang sudah hak. Sekarang kan menteri sosial tokoh politik :  jadi alat, makanya  mundur terus disabilitas. Apalagi bansosnya jadi instrumen politik juga.

Di Australia, keluarga pasien bisa ikut latihan yoga supaya dia tidak stress. Itu bisa di-chas di asuransi disabilitas. Dia mau berlibur ke mana,  dikasih opsi sama pemerintah misalnya Kemenkes punya vila di sini. Dia bisa pilih dengan plafon segini misalnya, jadi bisa dicas. Ini bukan cuma penyandang disabilitas saja tapi caregiver yang jadi mitra,  buat pemerintah juga harus mendapat perhatian.[]

 

Reporter  : Astuti

Editor       : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content