Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Ayu Wandari, Perempuan Difabel Bali yang Sukses Berdaya

Views: 22

Solidernews.com – Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional, SoliderNews berkesempatan mewawancarai sosok inspiratif perempuan Bali bernama  Ayu Wandari. Ia bukan sekadar perempuan biasa. ia membuktikan bahwa seorang ibu, istri, dan pekerja tetap bisa menjalankan perannya dengan penuh cinta dan dedikasi, meski ia memiliki kondisi yang berbeda dan memiliki sejumlah hambatan dalam kehidupannya.

Ayu adalah seorang perempuan difabel netra yang telah berkeluarga dan memiliki dua orang anak. Suaminya, yang akrab disapa Bli Agus, adalah seorang nondifabel yang setia mendampinginya dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Bersama, mereka menavigasi kehidupan dengan harmonis, saling mendukung dan menguatkan.

Dalam wawancara tersebut, Ayu berbagi pengalaman penuh perjuangan dalam mengasuh anak-anaknya sejak bayi. Dari menyusui, menyuapi makanan, hingga memandikan mereka, semua ia lakukan dengan penuh ketelatenan dan kasih sayang. Meski awalnya masih membutuhkan bantuan, seiring waktu ia belajar menyesuaikan diri dan semakin percaya diri dalam mengurus anak-anaknya.

“Awalnya memang sulit, terutama saat anak pertama saya belum punya pengalaman, saya takut salah dalam mengurus anak-anak saya, terutama saat menyusui dan memandikan ketika masih bayi, dan menurut saya tantangan itu sebenarnya selalu berubah seiring dengan bertambahnya usia anak, tetapi dengan bantuan suami dan kerabat, kini saya bisa belajar dari pengalaman, saya semakin yakin bahwa saya bisa menjadi ibu yang baik meskipun dalam keterbatasan saya,” ungkap Ayu Wandari dengan penuh keyakinan.

Dukungan keluarga, terutama dari sang suami, menjadi kunci keberhasilannya dalam menjalani kehidupan rumah tangga. “Dukungan dari keluarga, terutama suami, sangat berarti bagi saya. Saya bersyukur Bli Agus selalu sabar dan membantu saya dalam hal-hal yang sulit,” tambahnya.

Tak hanya sebagai ibu, Ayu juga menjalankan peran sebagai istri dengan penuh tanggung jawab. Memasak, misalnya, menjadi tantangan tersendiri baginya. Meski untuk memasak makanan yang lebih kompleks biasanya ia masih kerap dibantu suaminya, Ayu tetap berusaha mandiri dalam memasak hidangan sederhana seperti menggoreng nasi, telur, tahu, atau tempe secara mandiri.

“Memasak adalah tantangan lain bagi saya, tetapi saya selalu berusaha sebisa mungkin untuk melakukannya sendiri. Kalau hanya menggoreng telur atau memasak nasi, saya sudah terbiasa. Namun untuk masakan yang lebih kompleks dibantu suami, saya bersyukur karena suami saya mau membantu,” katanya sambil tersenyum.

Sebagai perempuan Bali, Ayu menghadapi tantangan yang tidak selalu dialami oleh perempuan di daerah lain. Selain mengurus keluarga dan menjalani pekerjaan, perempuan Bali memiliki tanggung jawab adat yang cukup besar. Dalam budaya Bali, perempuan berperan penting dalam berbagai upacara adat dan kegiatan sosial di Banjar. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi perempuan difabel seperti Ayu, yang harus menyeimbangkan antara peran domestik, pekerjaan, serta tuntutan adat yang melekat dalam kehidupan sehari-hari.

“Perempuan Bali tidak hanya memiliki tanggung jawab dalam keluarga, tetapi juga dalam adat dan sosial. Setiap ada upacara atau kegiatan di Banjar, kehadiran perempuan sangat diperlukan. Bagi perempuan difabel seperti saya, tentu ini menjadi tantangan tambahan. Untungnya, lingkungan saya cukup mendukung dan memahami keterbatasan saya,” ungkap Ayu.

Tantangan yang dihadapi perempuan Bali tidak hanya dalam aspek adat, tetapi juga dalam ekspektasi sosial yang tinggi. Perempuan sering kali dituntut untuk serba bisa dalam mengurus rumah tangga, anak-anak, dan tetap aktif dalam masyarakat. Perempuan difabel harus berjuang lebih keras untuk membuktikan bahwa mereka juga mampu menjalankan tanggung jawab ini.

Ayu berharap ada lebih banyak pemahaman dan dukungan bagi perempuan difabel di Bali, terutama dalam peran mereka di masyarakat. “Saya ingin masyarakat lebih memahami bahwa perempuan disabilitas juga berhak untuk mendapatkan kesempatan yang sama. Bukan berarti kami tidak mau berpartisipasi, tetapi kami juga membutuhkan akses dan dukungan agar bisa menjalankan peran kami dengan lebih baik,” tambahnya.

Dengan semangat dan tekad yang kuat, Ayu Wandari terus berupaya membuktikan bahwa perempuan difabel mampu menghadapi berbagai tantangan, baik dalam keluarga, pekerjaan, maupun kehidupan sosial di Bali yang kaya akan tradisi.

Di momen Hari Perempuan Internasional ini, Ayu Wandari menyampaikan harapannya agar para perempuan difabel tidak perlu merasa malu dengan kondisi mereka. Ia ingin mereka percaya diri, meningkatkan keterampilan individu, dan berani berbaur serta bersaing di lingkungan sosial maupun profesional.

“Saya ingin menyampaikan kepada semua perempuan difabel bahwa kita tidak perlu merasa rendah diri. Kita punya potensi yang sama dengan perempuan lainnya, selama kita mau belajar dan terus berusaha,” katanya penuh semangat.

Ayu sendiri telah membuktikan bahwa kemampuan berbeda dan berbagai hambatan bukanlah penghalang untuk meraih kesuksesan. Di tengah kesibukannya sebagai ibu dan istri, ia berhasil menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS), suatu pencapaian yang membanggakan bagi dirinya dan keluarganya.

“Saya bersyukur bisa menjadi salah satu perempuan disabilitas yang telah bekerja sebagai seorang PNS. Ini adalah bukti bahwa perempuan disabilitas juga mampu berkontribusi di dunia kerja, dan  bagi perempuan disabilitas lainnya saya harap jangan takut untuk bermimpi dan mengejar cita-cita karena kesempatan bukan untuk ditunggu tetapi untuk diwujudkan,” ujarnya.

Selain itu, Ayu juga berharap agar pemerintah dan organisasi terkait lebih memperhatikan perempuan difabel. Menurutnya, perempuan memiliki tanggung jawab yang besar, terlebih bagi mereka yang hidup sebagai perempuan dengan difabel. Ayu menekankan pentingnya akses yang setara dan inklusif dalam berbagai aspek kehidupan, seperti pendidikan, kesehatan, serta kesempatan kerja.

“Menjadi perempuan disabilitas itu tantangannya dua kali lebih besar dibandingkan perempuan pada umumnya. Saya berharap pemerintah dan organisasi yang bergerak di bidang sosial lebih memperhatikan kebutuhan kami. Akses pendidikan, layanan kesehatan, dan kesempatan kerja yang inklusif sangat penting agar perempuan disabilitas bisa mandiri dan berdaya,” tuturnya.[]

 

Reporter: Harisandy

Editor     : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content