Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Autisme dalam Konteks hukum Taklif

Views: 264

Solidernews.com – Saat `individu mencapai usia dewasa, mereka memiliki keahlian yang telah tertanam dalam diri mereka. Namun, sering kali, beberapa hambatan menghalangi mereka dalam menggunakan keahlian tersebut. Beberapa hambatan tersebut bersifat takdir dan tidak dapat diubah oleh manusia, seperti gangguan jiwa, keterbatasan intelektual, atau kehilangan ingatan.

 

Dalam konteks hukum Islam, dikenal istilah “awaridh al-ahliyah”, yang merujuk

pada kondisi di mana seseorang mengalami penurunan atau kehilangan akal setelah sebelumnya memiliki akal yang sempurna. Dengan demikian, pertanyaan muncul mengenai apakah individu dengan autisme dapat dianggap terkena subjek hukum, dan bagaimana jenis autisme yang memungkinkan atau tidak memungkinkan bagi individu tersebut untuk menjadi objek hukum?

 

Sebelum kita melangkah lebih jauh, penting bagi kita untuk memahami apa yang dimaksud dengan autisme dan bagaimana konsep terkena hukum islam, atau yang dalam konteks Islam disebut “taklif”, berlaku dalam kasus ini.

 

Apa itu Autisme?

Autism Spectrum Disorder (ASD), atau sering dikenal sebagai autisme, adalah sebuah gangguan perkembangan neurologis yang mempengaruhi kemampuan berkomunikasi, interaksi sosial, dan perilaku individu. Selain autisme, ASD juga mencakup berbagai kondisi lain seperti sindrom Asperger, sindrom Heller, dan gangguan perkembangan pervasif (PPD-NOS), yang semuanya memiliki ciri-ciri yang serupa dalam pengaruhnya terhadap perkembangan individu.

 

Menurut DSM 5 (Diagnostic and Statistical Manual), autisme dibagi menjadi tiga tingkatan berdasarkan tingkat keparahan gejala:

 

– Tingkat 1: Tingkat paling ringan di mana individu masih mampu berkomunikasi, namun mungkin membutuhkan

pemantauan dalam interaksi sosial dan perilaku tertentu yang kadang-kadang muncul.

 

– Tingkat 2: Tingkat ini menunjukkan adanya gangguan yang lebih signifikan, seperti kesulitan dalam kontak mata dan interaksi sosial. Meskipun demikian, individu pada tingkat ini masih dapat diarahkan dalam beberapa hal.

 

– Tingkat 3: Tingkat paling berat di mana individu mengalami kesulitan yang sangat besar dalam berinteraksi dan menunjukkan gangguan perilaku yang mencolok.

 

 

Apa itu Taklif?

Taklif dalam Islam bukan sekadar memberikan perintah atau larangan kepada umat-Nya, tetapi juga mencerminkan hubungan yang erat antara manusia dan Allah SWT. Konsep ini merupakan manifestasi dari kehendak-Nya untuk membimbing manusia menuju kebaikan dan kesempurnaan spiritual. Allah SWT, melalui Al-Qur’an dan Sunnah, memberikan aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan oleh umat-Nya sebagai bagian dari ujian hidup dan pengabdian kepada-Nya.

 

Mengenal Autis Prespektif Pengalaman Individu Autis

Dalam upaya memahami relevansi autisme dalam konteks hukum Islam, langkah pertama yang penting adalah memahami esensi autisme itu sendiri. Autism Spectrum Disorder (ASD) merupakan suatu kondisi neurologis kompleks yang mempengaruhi perkembangan individu dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk kemampuan berkomunikasi, interaksi sosial, dan perilaku. Untuk merangkai hubungan antara autisme dan hukum Islam, kita perlu memahami dengan jelas bagaimana kondisi ini memengaruhi individu secara menyeluruh, baik dari sudut pandang medis maupun sosial.

 

Salah satu cara untuk memahami autisme adalah melalui pengalaman individu yang mengalaminya. Pidato Jim Sinclair, seorang aktivis autisme, pada konferensi internasional di Toronto pada tahun 1993 memberikan wawasan yang berharga. Dalam pidato berjudul “Don’t Mourn for Us”, Sinclair menyoroti pentingnya para orang tua memahami bahwa autisme bukanlah suatu penyakit yang harus dilawan atau diobati, tetapi merupakan bagian dari identitas dan cara hidup individu tersebut. Dengan menghapuskan harapan-harapan ideal yang mungkin dimiliki oleh orang tua, individu dengan autisme dapat diterima dan didukung sesuai dengan keadaannya yang sebenarnya.

 

Selain itu, perspektif neurodiversity juga memberikan kontribusi penting dalam pemahaman tentang autisme. Aktivis neurodiversity, seperti Amanda Baggs, menekankan pentingnya menerima individu dengan segala perbedaan dan keunikan mereka, termasuk individu dengan autisme. Menurut Baggs, menuntut individu untuk mengikuti standarperilaku yang ditetapkan oleh masyarakat umum adalah bentuk paksaan yang tidak adil. Sebaliknya, mereka harus diperlakukan dengan penuh penghargaan dan pemahaman akan kebutuhan dan keunikan mereka.

 

Dari sudut pandang ini, kita dapat melihat bahwa autisme bukanlah suatu kondisi yang harus “disembuhkan” atau “dilawan”, tetapi merupakan bagian dari keragaman manusia yang perlu diterima dan diakui dengan segala keunikan dan keistimewaannya.

 

 

Autism dalam Konteks Hukum Taklif

Pada narasi sebelumnya, sudah menyinggung tentang kompleksitas autisme dalam berbagai jenisnya, serta pemahaman akan pentingnya menerima dan memahami individu dengan keragaman saraf. Dalam konteks kaitannya konteks autis sebagai objek hukum islam dengan kewajiban agama, seperti shalat, puasa dan laim-lain, perlu diperhatikan bahwa autisme memiliki spektrum yang luas dan variasi dalam tingkat keparahan dan kemampuan individu. Sehingga kompleksitas putusan tidak bisa terelakkan.

 

Muncul pertanyaan yang kompleks tentang kewajiban agama bagi individu yang belum mencapai tingkat pemahaman atau kesadaran penuh, seperti anak-anak atau orang dengan gangguan mental. Istilah “المعتوه” (al-Mu’tawih atau al-Ma’tuh) digunakan untuk menggambarkan kondisi ini, sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu.

 

Menurut penjelasan dalam kitab tersebut, al-Mu’tawih adalah seseorang yang mengalami kelemahan pemahaman dan kekacauan dalam ucapan serta kontrol diri karena gangguan mental, baik itu sejak lahir atau akibat penyakit yang muncul kemudian. Jika kondisi pemahamannya semakin memburuk dan ia belum mencapai tingkat kesadaran penuh (tamyiz), maka statusnya dianggap sama dengan orang gila atau anak kecil yang belum mencapai tingkat kesadaran penuh. Dalam konteks ini, semua perbuatan yang dilakukannya dianggap batal.

 

Karena jika kondisinya belum mencapai tingkat pemahaman atau kesadaran penuh, seperti anak-anak atau orang dengan gangguan mental, terdapat istilah “adamut takliif” (عدم التكليف). Istilah ini mengacu pada ketidakberlakuan kewajiban agama bagi individu yang belum mencapai tingkat kematangan atau pemahaman yang memadai.

 

Contoh kecil, bahwa syarat sahnya shalat mencakup keadaan seseorang harus sudah mukallaf, yaitu telah mencapai kematangan mental dan usia baligh. Oleh karena itu, ketika mengkaji kondisi anak-anak atau individu dengan gangguan mental, kita perlu memahami bahwa mereka mungkin belum memenuhi syarat-syarat tersebut.

 

Namun, penting untuk tidak secara sembarangan mengaitkan istilah ini dengan konsep “junun” (kegilaan) atau status anak yang belum mencapai tingkat pemahaman, semata karena referensi teks fiqih. Pendekatan ini mencerminkan kompleksitas dalam memahami tanggung jawab agama bagi individu dengan kondisi khusus.

 

Bahwa interpretasi dan aplikasi istilah ini dalam konteks modern memerlukan pemahaman yang cermat dan sensitif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan pemahaman terkini tentang gangguan mental.

 

Jadi, dengan logika yang sama, maka jika mereka telah dewasa dan memiliki pemahaman yang baik, maka mereka terkena “taklif” artinya dianggap wajib melakukan shalat ketika sudah waktunya.

 

Menariknya, banyak orang dengan autisme menunjukkan kecerdasan, bahkan ada yang dianggap sebagai genius. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya memahami bahwa setiap individu berbeda-beda, termasuk mereka yang memiliki autisme, dan kita harus menghormati potensi dan keunikan mereka.

 

Jika hal itu benar, maka individu yang mengalami autisme seharusnya memiliki kewajiban yang sama seperti individu lainnya, yaitu menjalankan kewajiban agama seperti sholat, puasa dan lain-lain, ketika kondisi fisik dan mentalnya memungkinkan, serta setelah mencapai usia baligh.

 

 

Sementara ada pendapat lain seperti diskusi intensif di kalangan para ahli Fiqihdi Timur Tengah, disertai dengan telaah mendalam terhadap hasil penelitian yang mengkaji Autism dan ASD, telah menghadirkan suatu pandangan baru yang menarik perhatian. Menurut pandangan ini, Autism Spectrum Disorders (ASD) atau التوحد أو الذاتوية (Autism) bukan sekadar permasalahan perilaku, melainkan merupakan bagian dari spektrum gangguan medis yang lebih luas.

 

Berdasarkan pemahaman ini, anak yang mengalami autisme belum dapat dikategorikan sebagai individu yang mampu secara jelas membedakan antara yang benar dan yang salah, yang dalam bahasa Fiqih disebut sebagai tamyiz. Lebih jauh lagi, maka pendapat ini menganggap, mereka tidak dianggap terikat oleh aturan-aturan agama (taklif dan khitob), karena untuk menjadi wajib taklif dan khitob, seseorang harus memiliki akal yang sempurna.

 

Pendapat ini bukan semata berdasarkan penelitian medis, tetapi juga merujuk pada karya-karya klasik dalam Fiqih Islam, seperti Kitab Syafiiyah Al Ihkam Fi Ushulil Ahkam karya Imam Al Amidi, yang mendalamnya sejalan dengan pandangan yang ditemukan dalam Kitab Irsyadul Fuhul karya Imam Asy-Syaukani. Selain itu, beberapa penjelasan dalam Kitab Al Waraqaat juga turut menegaskan perspektif ini.

 

Dengan demikian, pandangan ini membawa dampak signifikan dalam penafsiran hukum Islam terhadap individu yang mengalami autisme, mengingat kondisi mereka yang memerlukan pemahaman yang lebih luas dan mendalam dalam menanggapi kebutuhan dan hak-hak mereka dalam konteks agama.

 

Al-hasil, berdasarkan pemahaman tentang autisme, hukum yang berlaku bagi anak yang mengalami kondisi ini bervariasi tergantung pada tingkat keparahan gejalanya. Secara umum, ada tiga situasi yang dapat diidentifikasi untuk individu dengan autisme:

  1. Jika autisme yang dialami menyebabkan hilangnya kemampuan untuk membedakan antara yang benar dan salah, seperti kehilangan akal, maka menurut ajaran agama, individu tersebut tidak terikat oleh hukum syariat atau taklif. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad ﷺ yang menyatakan bahwa

 

hukum tidak berlaku bagi tiga golongan, termasuk di antaranya orang yang kehilangan akal.

  1. Jika autisme yang dialami tidak menyebabkan hilangnya akal, tetapi menunjukkan ciri-ciri seperti selalu ingin menyendiri atau memiliki keterbatasan dalam penginderaan, maka individu tersebut masih terkena kewajiban hukum syariat atau taklif. Dalam hal ini, mereka diharuskan menjalankan kewajiban agama seperti shalat, puasa, dan tugas-tugas lainnya.

 

  1. Jika gejala autisme bervariasi dari ringan hingga berat, maka hukum yang berlaku bagi individu tersebut bergantung pada kondisi akalnya. Ketika akalnya hadir, maka kewajiban agama tetap berlaku baginya. Namun, jika akalnya tidak berfungsi, maka kewajiban tersebut tidak berlaku pada saat itu.

 

 

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam Islam, hukum yang berlaku bagi anak-anak yang mengalami autisme dibedakan berdasarkan tingkat kematangan akal mereka. Dalam prinsipnya, kewajiban agama atau taklif syariah tetap berlaku jika anak yang mengalami autisme memiliki kemampuan akal yang berfungsi seperti manusia pada umumnya.[]

 

Penulis: Hasan Basri

Editor   : Ajiwan

Sumber relevan:

 

  1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (n.d.). Autism. Diakses dari https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1631/autisme

 

  1. Bethesda Autisme Services. (n.d.). Autisme. Diakses dari https://www.bethesda.or.id/read/222/autisme.html

 

 

  1. Parenting Indonesia. (n.d.). Pembagian Spektrum Autisme dan Penyebabnya. Diakses dari https://www.parenting.co.id/balita/pembagian+spektrum+autisme+dan+penyebabnya

 

  1. Dahlan, A. A. (Ed.). (2003). Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve.

 

  1. Republika.co.id. (2017, November 26). Hukum dan Kesadaran tentang Autisme. Diakses dari https://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/17/11/26/p00y5p291-hukum-dan-kesadaran-tentang-autisme

 

  1. Pondok Pujian Islam Salaf. (2019, Oktober). Apakah Anak Orang Autis Masih Wajib Sholat? Diakses dari https://www.piss-ktb.com/2019/10/5731-apakah-anak-orang-autis-masih.html?m=1

 

 

  1. https://www.halalan.id/fiqih/hukum-anak-autis-dalam-islam/

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air