Views: 4
Solidernews.com – Di desa Jurung Bale, Kecamatan Kembang Tanjung, Kabupaten Pidie, Aceh, seorang difabel netra bernama Armiadi tampak gembira ketika bertemu dengan Solider. Ia menjadi seorang difabel netra pada pada usia 30 tahun, sebuah perubahan besar dalam hidupnya. Kini, di usia 47 tahun, Armiadi telah menjalani kehidupan yang penuh dengan perjuangan dan inspirasi. Kerusakan retina pada kedua matanya menjadi penyebab dia kehilangan penglihatannya, namun semangatnya tak pernah pudar dalam menjalani hidup.
Ketika Solidernews bertanya kepadanya tentang apa yang dilakukannya ketika dia mengalami difabel netra, ia menyampaikan bahwa dirinya tidak menyerah pada nasib. Ia merenungkan potensi dan peluang yang masih mungkin diraih oleh seorang difabel netra. Sebuah ide muncul dalam benaknya untuk berwirausaha. Dengan berani, ia menjual emas simpanannya, hasil dari penjualan tersebut ia gunakan untuk membeli sekitar 300 tabung gas.
Keputusan Armiadi untuk memulai usaha tabung gas tidak serta merta mendapatkan dukungan. Ayahnya, dengan kekhawatiran seorang ayah, meragukan kemampuan Armiadi. “Kamu tidak mungkin bisa melakukan usaha seperti ini,” kata ayahnya dengan nada cemas. Namun, Armiadi memiliki keyakinan yang kuat pada dirinya sendiri. “Saya pasti bisa,” jawabnya dengan penuh semangat.
Keyakinan Armiadi yang tak tergoyahkan membuat ayahnya marah dan bahkan berniat untuk membuang tabung-tabung gas tersebut ke sungai. Namun, Armiadi tidak menyerah. Dengan kerja keras dan ketekunan, ia membuktikan bahwa hambatan penglihatan dan situasi yang sedang ia hadapi bukanlah penghalang untuk meraih kesuksesan. Usaha tabung gasnya terus berjalan dan berkembang.
Ketika ditanya tentang sistem penjualan gas yang ia terapkan, Armiadi menjawab dengan sederhana, “Saya menerapkan sistem kejujuran.” Ia menjelaskan bahwa pembeli mengambil gas secara mandiri dan meletakkan uang di tempat yang telah disediakan. Sebuah sistem yang unik dan berani, di mana kepercayaan menjadi kunci utama.
Tentu saja, ada saja orang yang mencoba memanfaatkan situasi dengan tidak jujur. Namun, Armiadi memilih untuk tidak terlalu fokus pada mereka yang berbuat curang. Ia lebih memilih untuk mempercayai bahwa mayoritas orang memiliki hati yang jujur. Dan terbukti, usaha gas yang ia jalankan terus berkembang dan memberikan manfaat bagi banyak orang.
Pada tahun 2020, Armiadi mendapatkan tawaran untuk belajar komputer bicara di sebuah lembaga milik Kementerian Sosial di Bekasi. Sebuah kesempatan emas untuk membuka dirinya pada dunia teknologi yang semakin maju. Ia pun menerima tawaran tersebut dengan antusias dan berangkat ke Bekasi.
Namun, pelatihan komputer bicara yang ia ikuti ternyata hanya berlangsung selama 6 bulan. Waktu yang sangat singkat, terutama bagi seseorang yang baru mengenal dunia komputer dan harus beradaptasi dengan screen reader, sebuah perangkat lunak yang membantu difabel netra dalam menggunakan komputer. Armiadi merasa sangat antusias untuk belajar, tetapi keterbatasan waktu membuatnya belum menguasai komputer secara lancar.
Setelah pelatihan selesai, ia mendapatkan sebuah laptop dari lembaga tersebut. Namun, karena belum mahir menggunakannya, laptop tersebut tidak pernah terpakai. Armiadi merasa sedikit kecewa, tetapi semangatnya untuk belajar tidak pernah padam.
Ketika untuk pertama kali dia bertemu dengan penulis yang merupakan difabel netra yang beraktivitas di Aceh. Kami berdua terlibat dalam percakapan yang hangat tentang kehidupan sebagai difabel netra. Armiadi mengungkapkan keinginannya untuk belajar komputer bicara lebih lanjut. Penulis pun menawarkan untuk membantunya belajar komputer.
Namun, jarak antara tempat tinggal penulis dan Armiadi tidaklah dekat. Kami membutuhkan transportasi antar-jemput untuk saling mengunjungi. Sayangnya, di Kabupaten Pidie belum ada ojek online. Armiadi selalu mengandalkan RBT (sejenis ojek pangkalan) untuk bepergian. Masalahnya, RBT tidak selalu tersedia di tempat. Akibatnya, intensitas belajar komputer Armiadi menjadi tidak konsisten.
Armiadi pernah bertanya kepada penulis, apakah ada lembaga pemerintah lain yang dapat memberikan pelatihan komputer bicara dengan durasi waktu yang lebih lama. Penulis pun mencoba mencari informasi, namun hasilnya nihil. Beberapa lembaga pemerintah, baik di Kementerian Sosial maupun Dinas Pendidikan, mengakui adanya pelatihan dengan intensitas waktu yang lama, namun sayangnya, pendidikan atau pelatihan di Indonesia ternyata dibatasi oleh usia.
Armiadi, dengan semangatnya yang tinggi, harus menerima kenyataan bahwa usianya yang telah mencapai 47 tahun menjadi penghalang untuk mengakses pelatihan yang ia inginkan. Sebuah ironi yang menggambarkan betapa sulitnya difabel di Indonesia untuk mendapatkan akses pendidikan dan pelatihan yang layak.
Kisah Armiadi adalah cerminan dari perjuangan banyak difabel di Indonesia. Mereka memiliki semangat yang tinggi untuk belajar dan mengembangkan diri, namun seringkali terhalang oleh berbagai keterbatasan.
Penulis berpendapat, sudah saatnya ada revolusi total dalam pendidikan dan pelatihan keterampilan untuk difabel di Indonesia. Pendidikan dan pelatihan yang komprehensif, inklusif, dan tidak terbatas oleh usia. Dengan begitu, masyarakat difabel dapat memiliki kesempatan yang sama untuk meraih impian mereka dan berkontribusi secara maksimal bagi masyarakat.[]
Penulis : Fidi Andri Rukmana
Editor : Ajiwan