Views: 29
Solidernews.com – Pertanyaan mengenai status kusta merupakan bagian integral difabel atau tidak sering muncul dalam pikiran penulis. Meskipun kusta adalah masalah medis yang dapat menghasilkan difabel, sering kali ditempatkan secara terpisah dari wacana dan inisiatif terkait difabel. Hal ini menciptakan kesenjangan dalam kesadaran dan dukungan terhadap individu yang terkena dampak kusta.
Dalam banyak acara pelatihan atau advokasi, topik difabel selalu dipisahkan dari isu kusta dalam penamaan dan fokus acara. Meskipun topik difabel dibahas dalam berbagai konteks, kusta sering dianggap sebagai entitas terpisah. Namun, pada kenyataannya, kusta dapat menyebabkan difabel yang serupa dengan latar belakang difabel lainnya.
Menggabungkan kusta ke dalam kelompok difabel secara lebih menyeluruh dapat memperkuat kesadaran dan dukungan terhadap semua bentuk difabel. Melakukan hal ini juga dapat meningkatkan aksesibilitas terhadap layanan kesehatan dan dukungan bagi individu yang terkena dampak kusta. Dengan mengakui kusta sebagai bagian integral dari isu difabel, kita dapat melangkah menuju inklusi yang lebih baik bagi semua individu yang terkena dampak, tanpa memandang penyebab spesifik dari difabel tersebut.
Kusta tidak boleh lagi dilihat sebagai masalah yang terisolasi, melainkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari narasi yang lebih besar tentang difabel. Hanya dengan memasukkan kusta ke dalam kerangka kerja difabel secara keseluruhan, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan semua individu.
Kusta dan Kedifabelannya, Memahami Kedua Sisi yang Tidak Dapat Dipisahkan
Pandangan tentang difabel, khususnya terkait dengan kusta, menjadi pusat perhatian penulis dalam kerangka regulasi Indonesia. Mengacu pada definisi disabilitas dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, pasal 1 menggambarkan penyandang disabilitas sebagai individu yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu yang lama, yang menghambat partisipasi penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Dari perspektif ini, penyandang kusta dapat secara sah dianggap sebagai bagian dari kategori difabel, mengingat dampak yang ditimbulkan oleh penyakit kusta termasuk dalam cakupan definisi tersebut. Misalnya, hilangnya sensorik perasa kulit secara permanen, penurunan kemampuan fisik, bahkan amputasi pada ekstremitas tubuh seperti kaki dan tangan. Oleh karena itu, argumen bahwa kusta tidak dapat dianggap sebagai kondisi difabel karena cakupan dampaknya memiliki perbedaan tidaklah beralasan, karena kusta dan dampaknya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Namun, masih terdapat pandangan yang sempit terhadap kusta, yang hanya menganggapnya sebagai masalah kesehatan fisik semata. Padahal, pasien kusta juga mengalami dampak mental dan sosial yang signifikan akibat stigma dan diskriminasi yang terkait dengan penyakit ini.
Saat ini, regulasi terkait dengan kusta di Indonesia masih belum mencakup semua aspek yang relevan, belum ada undang-undang terkait kusta. Meskipun ada beberapa aturan yang berfokus pada aspek medis saja, seperti Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2019 tentang Penanggulangan Kusta, regulasi tersebut belum mencakup seluruh dimensi yang terkait dengan kondisi ini. Belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur kusta, sehingga perlindungan terhadap pasien kusta masih belum optimal.
Regulasi yang ada cenderung terbatas pada penanganan medis dan kesehatan saja, tanpa mempertimbangkan masalah sosial, psikologis, dan hak-hak penyandang kusta secara menyeluruh. Oleh karena itu, diperlukan upaya lebih lanjut untuk mengintegrasikan perspektif difabel dalam regulasi terkait kusta. Langkah ini diperlukan untuk memastikan bahwa kebutuhan dan hak-hak penyandang kusta dapat terjamin dengan baik oleh sistem hukum dan masyarakat secara keseluruhan.
Dalam banyak kasus, kusta sering dianggap hanya sebagai kondisi medis yang dapat disembuhkan, tanpa mempertimbangkan dampak kedifabelanya. Namun, penting untuk menyadari bahwa kusta bukan hanya masalah kesehatan semata, melainkan juga merupakan bagian integral dari kondisi difabel seseorang. Orang yang mengalami kusta tidak akan mengalami kedifabelannya jika tidak terjangkit kusta. Oleh karena itu, perlu kiranya untuk memahami bahwa kusta dan kedifabelannya adalah suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sebagaimana difabel lainnya seperti tuna rungu atau tuna wicara, kusta juga harus dipandang dalam konteks yang lebih luas, sehingga dapat memberikan perlindungan dan dukungan yang tepat bagi mereka yang terkena dampaknya.[]
Penulis: Hasan Basri
Editor : Ajiwan Arief