Views: 6
Solidernews.com – Pada akhir Mei lalu, Sigab dengan program GOOD-nya menyelenggarakan pelatihan pemantauan pemenuhan hak-hak difabel. Beberapa materi diberikan kepada para mitra yang berasal dari belasan organisasi difabel yang tersebar di seluruh Indonesia. Materi-materi tersebut antara lain ; Pendekatan-pendekatan dalam memahami isu disabilitas secara umum dan khusus, mengenal indikator pemenuhan hak penyandang disabilitas, monitoring HAM dan tata kelola pemerintah dalam implementasi pemenuhan hak difabel di berbagai sektor.
Lantas, bagaimana catatan kesan dari para peserta yang mengikuti pelatihan tersebut? inilah beberapa yang solidernews rangkum dari wawancara baik lewat telepon dan pesan platform media sosial.
Citam Wiyono adalah seorang penyintas kesehatan mental yang menjadi petugas lapangan untuk program Dignity yang bekerja sama dengan Paguyuban Sehati di Sukoharjo. Dalam pelatihan, Citam Wiyono menceritakan materi terkait role model pandangan tentang difabel yang meliputi model medis, sosial dan model pendekatan Hak Asasi Manusia (HAM). Saat itu juga diberikan materi tentang SDG’s yang meliputi 17 goals/indikator serta indikator-indikator pemenuhan hak-hak difabel yang meliputi indikator struktur, proses dan hasil.
Untuk materi hari kedua Citam Wiyono mereview kembali tentang pembahasan 7 sasaran strategis dan 24 kebijakan Rencana Aksi Daerah (RAD). Dilanjutkan tata kelola dalam pemerintahan untuk memenuhi hak-hak difabel terkait kebijakan anggaran publik dalam perencanaan program difabel serta membahas proses pemantauan mulai dari perencanaan, pengumpulan, analisis sampai pelaporan dan Rencana Tindak Lanjut (RTL).
Menurut Citam, output secara pribadi ia menjadi paham mengenai hak-hak difabel termasuk difabel psikososial sebagaimana tercantum dalam UN CRPD dan Undang-undang Nomor 8 tahun 2016 disebutkan bahwa negara punya kewajiban untuk memenuhi, melindungi dan menghormati hak-hak disabilitas sebagai HAM.
Output secara komunitas tidak jauh berbeda. Ia mengakhiri wawancara dengan menegaskan bahwa sebagai anggota dari Organisasi Penyandang Disabilitas (OPDis) ia mempunyai kewajiban memperjuangkan hak-hak teman-teman difabel termasuk psikososial.
Any Qatul Zaroh, penyintas bipolar, peserta dari Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) Simpul Solo Raya mengatakan bahwa pelatihan bersama Sigab tidak berat dan tidak menjadikan beban pikirannya. Ia bisa menjaga kesehatan tubuh dan mentalnya. Pelatihan bersama program GOOD ini adalah pelatihan. kedua yang diikuti oleh Any. Ia mengaku merasakan dampak langsung yang dialaminya terkait pelatihan ini sebab bisa dikomunikasikan dan diintegrasikan bersama komunitasnya.
Jebolan Fakultas Ekonomi dan Manajemen Universitas Muhammadiyah Surakarta ini merasa pengalamannya menjadi bertambah dan pengetahuan yang ia dapat bisa dipraktikkan termasuk bagaimana upayanya saat ini yang sedang mencari pekerjaan.
Lain lagi cerita Ika Hana Pertiwi, lulusan S2 Fakultas Psikologi UGM dan relawan KPSI Simpul Solo Raya ini pertama kalinya mengikuti pelatihan program GOOD. Ia mengaku banyak sekali mendapat pengetahuan baru yang selama ini belum pernah didapatkannya misalnya pemahamannya tentang hak-hak difabel dan advokasinya. Juga berbagai pandangan dan perspektif pendekatan yang dilakukan.
Ika Hana juga menceritakan terkait saat digelar forum diskusi tentang pertanyaan kritisnya, mengapa pendekatan perspektif medis seakan dipandang merugikan bagi difabel. Menurutnya semestinya tidak disamaratakan artinya butuh perhatian juga kepada difabel mental psikososial. Hal ini justru sangat berbahaya saat dikenakan pada difabel mental psikososial ketika diberi edukasi untuk “memusuhi” medis. Ia menyampaikan dengan artikulasi lebih halus, bagaimana menjembatani pendekatan medis dengan pendekatan HAM. Ia berargumentasi bahwa di KPSI perspektif medis itu sangat penting bahkan KPSI berhasil mengurangi stigma klenik dan keengganan untuk berobat dengan menonjolkan kepercayaan kepada medis.[]
Reporter: Astuti
Editor : Ajiwan