Views: 6
Solidernews.com – Nurul Saadah, Direktur SAPDA sebagai salah seorang penggagas dan penyusun draft Raperma dalam dalam Difabel Lawyer Club (DLC) yang digelar oleh Sigab dan disiarkan Solider TV pada Jumat (20/9) melihat dari sisi lapangan bahwa SAPDA sebagai organisasi yang salah satunya mengusulkan Perma ini dan ada Naskah Akademiknya memiliki dua alasan mengapa Perma ini penting. Pertama, Pengalaman di lapangan ketika melakukan pendampingan difabel yang berhadapan dengan hukum, baik sebagai korban maupun sebagai saksi atau pelaku dan ada sebagai penggugat serta tergugat.
Dari aparat pengadilan sendiri belum semuanya memahami proses dan prosedur harus seperti apa. Terkait dengan prosedur pelayanan awal belum semuanya paham misalnya kebutuhan assesment. Mereka mungkin merasa sudah menyediakan kursi roda dan sebagainya, namun ada proses di persidangan yang ada kebutuhan-kebutuhannya, misalnya bagaimana teman intelektual atau mental mengalami relaps/kekambuhan pada saat sidang dilakukan, apakah diundur atau distop atau bagaimana? Kalau misal diundur atau tiba-tiba dibatalkan. Kemudian saat tiba-tiba ada seorang difabel psikososail alami relaps dan sakit namun dipaksa menjalani sidang dan ini menimbulkan masalah. Lalu ada difabel intelektual yang didampingi oleh orang yang tidak mereka sukai kemudian tiba-tiba tantrum atau teman Tuli yang didampingi oleh JBI namun JBI diusir karena tidak ada sertifikat. Hal-hal inilah yang menurut Nurul adalah persoalan yang jadi hambatan difabel untuk mendapat akses keadilan.
Sementera justru merupakan kebutuhan dari hakim sebagai penegak hukum. Karena lembaga SAPDA sampai saat ini mendampingi 130-an pengadilan (umum (negeri dan tinggi) agama, militer dan TUN) di Indonesia dengan proses yang berbeda-beda dan mereka masih saja kebingungan karena kalau terkait sarana dan prasarana sudah ada, sudah ada 4 SK Dirjen tetapi masih kebingungan bagaimana mengadilinya. Kalau ada penundaan atau dihentikan, akan berapa lama dihentikan? Apakah itu dihentikan, diproses atau bagaimana. Ada juga difabel yang tidak bisa dihadirkan di pengadilan maka pemeriksaan setempat itu bagaimana? Uangnya dari mana? Itu menjadi persoalan. Jadi ada hakim yang mempunyai komitmen tapi kemudian kebingungan. Ini akan menjadi persoalan hangat kalau mereka tidak punya dasar hukumnya dan bagi pihak lain, ada ketidakpercayaan kepada hakim dan akan menjadi persoalan sendiri tapi lebih banyak yang tidak tahu dan bahkan mengacuhkan karana tidak ada aturannya. “Ini adalah kebutuhan kami bagaimana teman kami mendapat akses keadilan dan clear, “pungkas Nurul.
Osse Kiki, pegiat difabel dari Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) juga menyatakan alasan-alasan mengapa Perma terkait difabel yang berperkara hukum perlu dibuat. Menurutnya : 1. Penting dibuat pedoman Perma bagi difabel mental psikososial.. Karena difabel psikososial disabilitasnya termasuk invisible/tidak terlihat. Jangan sampai aparat pengadilan dan hakim punya penilaian subjektif terlebih dahulu terhadap difabel psikososial misalnya stigma yang berdampak besar bagi difabel psikososial yang mengalami gangguan jiwa. Artinya itu (penilaian subjektif) tidak menjadi dasar sebelum mengadili. Pentingnya dalam pengadilan ini, difabel psikososial yang berhadapan dengan hukum juga memperoleh Akomodasi Yang Layak (AYL), “kalau dia kambuh itu bagaimana. Apakah butuh ruang tenang atau bagaimana? Saya melihat ini satu peluang teman teman difabel mendapat akses yang inklusif di bidang hukum, ” terang Osse Kiki.
Bagaimana Mekanisme seperti ini Juga Ada di Negara Lainnya? dan Bagaimana Implikasinya pada Difabel?
Risnawati, Direktur Ohana, berpendapat bahwa ia melihat progresivitas di negara-negara di dunia, karena berdasarkan review di lebih 100 negara di dunia, persoalan legal kapasitas adalah yang paling penting. Sehingga perlu langkah afirmasi untuk memastikan bahwa terjadinya diskriminasi kepada difabel secara langsung atau tidak langsung, kesamaan di depan hukum bisa dikurangi. Ia melihat bahwa persoalan affirmative action tidak bisa cepat.
Kalau belajar dari Peru, kebetulan Peru adalah negara yang paling maju dalam soal reformasi dalam legal capacity, itu membutuhkan waktu delapan tahun. Itu juga membutuhkan roadmap perlahan tapi pasti untuk aparat penegak hukum, jaksa kepolisian dan sebagainya. Dari banyak negara memang terbukti jika negara itu tidak mengakui kapasitas legal kelompok difabel terutama difabel mental dan psikososial, maka memang akan terjadi yang terstruktur dan terus-menerus, entah itu di Perancis, Hongaria, dan Jepang, masih terus-menerus melakukan diskriminasi struktural ketika tidak ada peraturan tentang legal capacity.
Namun Risna melihat ada angin segar di Indonesia, menjadikan langkah afirmasi, bagaimana mengatasi problem difabel di persidangan dan di proses-proses yang lain. Risma belajar dari Costa Rica dan Irlandia,mereka memasukkan ini (problem difabel di pengadilan) dalam celah-celah dan juknis bagaimana persidangan dilakukan dan melibatkan difabel dan mereka berusaha memenuhi akomodasi yang layak. Hal-hal yang harus dilalui ketika yudicial system ini melakukan legal capacity artinya akan membuka peluang hak-hak penyandang disabilitas yang lain untuk mendapatkan misalnya hak memilih dalam pemilu. Di Irlandia hal itu sudah clear. Difabel psikososial maupun intelektual bisa memilih, bertransaksi di perbankan, karena sudah ada reformasi secara hukum.
Tetapi menurut Risna, memang harus hati-hati, ketika menentukan peraturan di tingkat teknis karena harus melakukan modifikasi ketika melakukan di wilayah Indonesia pastinya DRPD tidak langsung diterjemahkan dalam hukum Indonesia sebab pastinya akan ada hal-hal yang perlu dimodifikasi dan adaptasi dengan budaya dan juga struktural hukum di Indonesia dan ini yang sulit. Ini akan sulit dan biasanya akan mengalami persoalan ketika disesuaikan dengan HAM internasional dan bisa dibahas dengan beberapa praktisi mulai dari akar rumput dan juga sistem yang ada di Indonesia.
Risna juga melihat persoalan hukum terkait difabel di Indonesia ini sangat kuat sekali. Ketika ia bersaksi di Mahkamah Konstitusi pada tahun 2022 lalu, ia menghadapi hakim tujuh orang dan laki-laki semua. Waktu itu ia menjadi saksi dalam perkara JR untuk legal capacity perdata disabilitas psikososial. Menurutnya patriarki-nya sangat kuat sekali. “Apalagi disability inclusion? Saya lihat itu yang susah. Ini jadi persoalan bagaimana Perma ini dijalankan supaya disability inclusive dan juga lebih memahami konteks lapangan. Lebih ke persoalan-persoalan yang dihadapi oleh teman intelektual dan psikososial di Indonesia karena kita perlu mendapatkan input dari teman difabel ketika mereka melakukan kesaksian. Ketika mereka menjadi korban atau mereka menjadi pelaku,”jelas Risna.
Ia mengakhiri argumennya dengan menandaskan bahwa yang perlu dilakukan adalah modifikasi dalam konteks di Indonesia dan ada dua hal yang bisa digarisbawahi : 1. Legal capacity . 2. Bagaimana memastikan bahwa produk hukum bisa sesuai dengan local wisdom, culture dan struktur hukum dan budaya hukum.
Raperma dari Sisi Komnas HAM bagaimana?
Hari Kurniawan, komisioner Komnas HAM menyatakan Perma ini penting terkait P5HAM dan merupakan hak konstitusional sebagai warga negara dan harus punya dan mencakup prosedural dan hak konstitusional, misalnya dalam konteks peradilan yang bebas. Dan hak untuk memperoleh keputusan hukum yang baik dan benar. Komnas HAM sendiri, sudah ada Standar Norma dan Pengaturan Hak Memperoleh Keadilan yang secara langsung terkait dengan difabel. Menurut Hari, difabel harus mendapat kesetaraan hak dalam proses pengadilan yang fair. Ada langkah affirmative action difabel berhadapan dengan hukum. Harus ada satu asesmen yang dikeluarkan oleh lembaga penegak hukum.
Dalam konteks difabel berhadapan hukum, Komnas HAM juga ada pos pengaduan. Difabel harus ditempatkan oleh subjek hukum yang setara. Atau yang lain tidak boleh melanggar martabat yang melekat atau tidak boleh diskriminatif. Termasuk menentukan pilihan pendampjng penyandang disabilitas. “Dalam hal ini Komnas HAM menyambut baik adanya Raperma ini. Tentu saja harus ada partisipasi bermakna dari OPDis, “pungkas Hari.[]
Reporter: Astuti
Editor : Ajiwan