Views: 18
Solidernews.com – Sobat Inklusi, pernahkah kamu mempertanyakan nasib layanan dasar dan publik saat anggaran makin ketat? Efisiensi anggaran—walau dipraktikkan demi kestabilan fiskal—seringkali berdampak langsung pada hak-hak difabel. Corpus (Bank data teks) terbaru menunjukkan, di tengah tekanan ekonomi global dan kebutuhan efisiensi Fiskal, negara kita mengambil langkah pemangkasan belanja yang ternyata menyasar pula sektor rentan. Misalnya, Komisi Nasional Disabilitas (KND)—lembaga strategis yang mengawal implementasi UU No. 8/2016 dan Konvensi HAM Penyandang Disabilitas (CRPD)—pagu anggarannya dialokasikan sebesar Rp. 6,915 miliar pada APBN 2025. Namun, setelah Efisiensi Belanja lewat Inpres No. 1/2025 dari Presiden Prabowo Subianto, pagu itu dipotong tajam lebih dari 50 %, menyisakan Rp. 3,030 miliar saja. Ada juga versi ekstrem: jumlah Rp. 500 juta. Hal ini dicomot dari sejumlah narasi media alternatif yang menyebut “pemangkasan 90 %”, alias dari semula Rp. 5,6 miliar menjadi tersisa Rp. 500 juta. Namun, klaim ini kemudian dibantah oleh Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) dan KND sendiri, yang menegaskan pagu pascapemangkasan masih berkisar di angka Rp. 3 miliar, bukan Rp. 500 juta.
Efisiensi Vs. Hak Dasar: Timbal Balik yang Meresahkan
Memang argument efektifitas bicara, bahwa belanja pos yang tak langsung memiliki dampak mikro perlu dipangkas. Efisiensi perjalanan dinas, ATK, dan seremonial adalah opsi paling masuk akal. Namun ketika pemangkasan menembus komponen vital seperti advokasi di daerah, layanan terapi, hingga monitoring berbasis komunitas, justru mengganggu akses difabel terhadap layanan dasar. Misalnya, sebagian laporan menunjukkan pencabutan program Kartu Indonesia Pintar (KIP), Program Keluarga Harapan (PKH), dan akses terapi telah terjadi pada beberapa zona.
Dr. Rina Herlina Haryanti, S.Sos, M. Si, dari LPPM UNS, menyatakan “Ketika terjadi efisiensi anggaran, yang awalnya sudah sedikit, semakin terpengaruh lagi untuk program disabilitas”. Hal tersebut mengemuka pada acara Obrolan Siang RRI Surakarta, Sabtu (17/5/2025) dipandu oleh presenter Riandani Surya.
Lanjutnya, dampak efisiensi juga berpengaruh pada penelitian, meskipun kajian tentang isu difabel masih sangat minim. Studi banding dianggap tidak efektif, dan pengeluaran untuk cetak materi yang berkaitan dengan difabel juga terpengaruh.
“Materi publikasi seperti banner, flyer, dan poster serta seminar (FGD) juga mengalami pengurangan anggaran, pengeluaran perjalanan terkena dampak karena difabel memerlukan pendampingan dalam perjalanan. Pengurangan honorarium juga menjadi perhatian,” ujarnya.
Solusi yang dapat diambil adalah dengan meminta Presiden melalui Menteri Keuangan untuk mengubah anggaran pada klausul efisiensi, dengan harapan adanya pengecualian untuk program yang mendukung masyarakat rentan. Jika langkah ini tidak memungkinkan, perlu dicari cara alternatif untuk meningkatkan anggaran, dengan mengembangkan jaringan dan kerja sama dengan pihak-pihak diluar APBN.
“Meningkatkan program CSR yang dapat dilakukan oleh pengusaha baik lokal maupun internasional. Tekanan yang diberikan oleh pemerintah di satu sisi mendorong pemikiran yang lebih kreatif dan inovatif dalam menyelesaikan masalah dan memanfaatkan akses digital dengan cara yang inklusif, agar masyarakat berpikir mandiri,” ucap Rina.
Pengetatan ini berimplikasi jauh melampaui efisiensi jangka pendek—mereka mempengaruhi keberlanjutan advokasi kebijakan, penguatan kapasitas komunitas difabel, dan ketersediaan fasilitas inklusif di wilayah pelosok.
Data Realitas: Angka-angka Bicara
KEMENKO PMK — Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Keluarga dan Kependudukan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Woro Srihastuti Sulistyaningrum dilansir dari kemenkopmk.go.id/, menegaskan, isu difabel adalah isu lintas sektor yang memerlukan perhatian komprehensif.
Hal tersebut disampaikannya dalam Rapat Koordinasi Monitoring dan Sinkronisasi Capaian Program RKP 2025 dan RENJA K/L Bidang Penyandang Disabilitas yang diselenggarakan secara daring, pada Kamis (13/3/2025).
“Pemerintah Indonesia terus berupaya memperkuat pemenuhan hak penyandang disabilitas melalui serangkaian kebijakan inklusif yang melibatkan berbagai sektor,” ujar Deputi yang akrab disapa Lisa itu.
Deputi Lisa memaparkan, berdasarkan data REGSOSEK 2023, terdapat 4,3 juta difabel sedang hingga berat di Indonesia, dengan mayoritas berada pada kelompok usia dewasa dan lanjut usia. Ia menyampaikan, difabel dan keluarganya masih menghadapi hambatan akses terhadap layanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan.
Salah satu tantangan utama dalam sektor pendidikan adalah rendahnya tingkat partisipasi difabel. Data Susenas Maret 2024 menunjukkan bahwa 17,2% difabel berusia 15 tahun ke atas tidak pernah bersekolah, dan hanya 4,24% yang berhasil mencapai pendidikan tinggi.
Dari sisi kesehatan, Deputi Lisa mengungkapkan bahwa difabel cenderung memiliki akses yang lebih rendah terhadap jaminan kesehatan, baik dari pemerintah maupun swasta. Oleh karena itu, pemerintah akan terus mendorong penguatan layanan kesehatan yang ramah difabel.
Deputi Lisa menyampaikan, pemerintah telah menetapkan berbagai instrumen hukum untuk memastikan hak difabel dapat terlindungi. Beberapa di antaranya adalah UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, PP Nomor 70 Tahun 2019 tentang Perencanaan, Penyelenggaraan, dan Evaluasi terhadap Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. Selain itu, terdapat Perpres Nomor 12 Tahun 2025 tentang RPJMN 2025-2029 juga menegaskan pentingnya koordinasi lintas kementerian dalam memastikan keberpihakan terhadap Masyarakat difabel.
Sebagai bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, Kemenko PMK diamanatkan untuk mendukung pencapaian sasaran Pembangunan Prioritas Nasional IV, dengan fokus pada peningkatan mobilitas difabel. Targetnya adalah meningkatkan mobilitas dari 68,42% pada 2023 menjadi 69% pada 2025, dan mencapai 71% pada 2029.
Deputi Lisa juga menyoroti pentingnya sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam menerapkan kebijakan inklusif. Pendekatan ini mencakup penyelarasan anggaran, integrasi program, serta peningkatan partisipasi difabel dalam proses perencanaan pembangunan.
“Kita perlu mendorong kemitraan dengan pemerintah daerah untuk memastikan kebijakan yang diterapkan sesuai dengan konteks lokal dan kebutuhan nyata penyandang disabilitas,” tuturnya.
Namun pertanyaannya, apakah data di atas sesuai dengan realitas yang kita saksikan di lapangan ataukah hanya efeumisme (penghalusan kata-kata)?
Lalu, apakah memang data-data di atas sudah benar-benar menyentuh masyarakat di tingkat akar rumput terutama para difabel?
Jawabannya adalah, ketimpangan masih nyata, ketidakadilan akses masih menjadi persoalan, dan segala regulasi yang ada belum betul-betul terimplementasi dengan baik.
Suara Komunitas: Strategi Berkelanjutan Harus Kolektif
Di tengah euforia efisiensi fiskal, suara para difabel kembali berada di lorong sunyi. Mereka yang sejak awal berada di pinggiran, kini semakin jauh dari prioritas.
Di sebuah kanal YouTube milik Joni Yulianto yang dilansir dari formasidisabilitas.id, suara-suara yang jarang terdengar kembali muncul. Diskusi yang ia gelar beberapa waktu lalu menghadirkan para tokoh yang selama ini tak henti menyuarakan hak-hak difabel. Suasananya santai—bertepatan dengan buka puasa bersama. Namun dari balik gelak tawa dan obrolan ringan, mengalir kegelisahan kolektif tentang nasib isu difabel dalam pusaran efisiensi anggaran negara.
Maman, seorang aktivis yang lama malang melintang dalam kerja-kerja kebijakan, tak menahan kekhawatirannya. “Isu disabilitas selama ini masih berada di pinggiran kebijakan. Maka ketika negara melakukan efisiensi, pemotongan anggaran seringkali menyasar program yang dinilai tidak prioritas—dan isu disabilitas termasuk di antaranya.”
Pernyataan itu tak berdiri di ruang kosong. Ia membeberkan data konkret: anggaran Komisi Nasional Disabilitas yang seharusnya mencapai Rp. 23 miliar per tahun, setelah refocusing hanya direalisasikan sekitar Rp. 800 juta. Sebuah angka yang nyaris simbolik. Sementara itu, di sisi lain, program makan siang gratis justru melejit hingga Rp. 170 triliun. Dalam waktu yang bersamaan, laporan tentang pencabutan Kartu Indonesia Pintar (KIP), Program Keluarga Harapan (PKH), dan layanan terapi bagi difabel bermunculan dari berbagai daerah.
Efisiensi anggaran, dalam narasi resmi, selalu terdengar rasional. Dalam situasi fiskal yang menantang, mengencangkan ikat pinggang menjadi keniscayaan. Namun diskusi ini menggugat satu hal mendasar: jika efisiensi dilakukan tanpa keberpihakan yang adil, maka kelompok yang paling rentan justru akan menjadi korban pertama. Bukan karena mereka menguras anggaran, melainkan karena posisi mereka yang lemah dalam konstelasi politik dan kebijakan.
Maman, yang kini kembali ke Solo setelah bertahun-tahun bekerja di Kantor Staf Presiden, menggarisbawahi pentingnya kerja advokasi yang membumi. “Kerja-kerja advokasi tidak boleh berhenti di pusat. Justru, penguatan komunitas lokal dan konsolidasi lintas desa menjadi kunci agar gerakan tetap hidup dan kontekstual.”
Belly, aktivis yang juga hadir dalam diskusi, menambahkan bahwa di banyak tempat, difabel sudah mulai membangun forum kolaboratif antar desa. Tetapi kondisi ini rapuh. “Di tengah penyusutan anggaran dan belum meratanya dukungan pemerintah daerah, keberlanjutan gerakan ini menjadi rapuh jika tidak didukung oleh kebijakan dan pendanaan yang memadai.”
Diskusi pun bergulir ke strategi. Maman kembali mengangkat konsep empat gugus tugas yang dulu pernah ia gagas: tim lobi, tim logistik (data dan dukungan), tim media, dan tim pengerahan massa. “Pembagian peran seperti ini bukan hanya efisien secara gerakan, tapi juga memperjelas kontribusi masing-masing simpul dalam mendorong perubahan kebijakan.”
Obrolan di kanal YouTube itu tak ubahnya alarm dini bagi gerakan difabel. Ia menjadi pengingat bahwa perhatian negara terhadap difabel tidak bisa bergantung pada goodwill semata. Ia harus dikawal lewat kerja politik yang cermat, narasi yang kuat, dan pengorganisasian komunitas yang konsisten.
Kita semua tahu, tidak semua program harus dipertahankan saat anggaran negara terbatas. Tetapi ketika yang dipotong justru layanan dasar seperti terapi, bantuan alat bantu, atau akses pendidikan bagi difabel, maka yang dikorbankan bukan sekadar anggaran—tetapi hak warga negara. Hari ini, gerakan difabel menghadapi tantangan ganda: belum optimalnya keberpihakan negara, dan lemahnya struktur advokasi yang mampu bertahan dalam jangka panjang. Maka, seperti disimpulkan dalam diskusi itu, penguatan dari dalam adalah langkah yang tidak bisa ditunda. Data yang solid, jaringan yang aktif, dan strategi yang terstruktur.
Maman menutup dengan kalimat yang layak diingat: “Advokasi adalah nafas gerakan. Dan nafas itu hanya akan tetap hidup jika kita merawatnya bersama, dengan kesadaran dan keberanian yang terorganisir.”[]
Reporter: Andi Syam
Editor : Ajiwan