Views: 10
Solidernews.com – Masalah putus sekolah pada anak yang menjadi difabel, adalah salah satu persoalan serius dalam dunia pendidikan kita yang terlalu sering diabaikan dengan dalih keterbatasan anggaran atau letak geografis. Dengan rutin negara mengulang jargon “wajib belajar 12 tahun,” tetapi kenyataannya tidak semua anak punya akses yang setara untuk mencapai hal tersebut.
Kesenjangan layanan pendidikan menjadi lebih mencolok ketika kita bicara tentang anak-anak yang tiba-tiba menjadi difabel—terutama mereka yang tinggal di desa, kampung, pulau, atau wilayah terpencil yang jauh dari pusat informasi. Di lokasi semacam itu, pengetahuan mengenai pendidikan inklusi hampir tidak ada. Informasi tentang hak belajar anak difabel jarang sekali sampai ke telinga orang tua.
Akibatnya, anak-anak yang kehilangan penglihatan, pendengaran, atau kemampuan gerak seringkali “dikeluarkan” diam-diam dari sekolah tanpa pernah tercatat sebagai putus sekolah resmi. Atau jika tidak dikeluarkan, otomatis, karena kurangnya pengetahuan mengenai pendidikan inklusi, keluarga akan memberhentikan mereka dari status pelajar. Mereka lenyap dari daftar murid. Hilang dari rencana pembangunan. Hal ini dialami oleh Rian (difabelfisik), Lutfi (difabelnetra), Siti (difabelmental) dan Wawan (difabelnetra) di kota Makassar.
Contoh konkret betapa peliknya masalah ini bisa kita lihat pada cerita Wawan, seorang remaja yang berasal dari desa pesisir di Sulawesi Selatan. Sebelumnya, Wawan adalah anak yang bersekolah di sekolah reguler. Tapi ketika penglihatannya hilang pada usia 13 tahun, hidupnya berubah drastis. Tak ada guru yang tahu bagaimana mengajarkan Braille. Tak ada pendamping yang datang untuk membantu transisi. Tak ada informasi apa pun ke keluarga tentang keberadaan SLB.
Hasilnya? Wawan berhenti sekolah. Menganggur di rumah selama dua tahun.
“Saya sebenarnya rindu sekali sekolah, Kak. Dua tahun tidak sekolah. Duduk-duduk ji di rumah, tidak tahu mau bikin apa,” katanya.
Keinginan Wawan untuk sekolah kembali justru muncul dari sebuah pertemuan yang benar-benar tidak disengaja. Suatu hari, Wawan ikut mengantar ayahnya ke pantai untuk berangkat melaut ke Maluku Tenggara—kebiasaan sosial di kampungnya, di mana keluarga dan tetangga Anak Buah Kapal ramai-ramai akan melepas keberangkatan di tepi pantai.
“Waktu itu ada tante-tante datang dekat ka, langsung tanya: ‘Tidak melihat mko sekarang, nak?’,” kenang Wawan, “Terus dia cerita tentang keponakannya juga buta tapi sekolah. Kuliahmi bahkan katanya sudah pernah ke luar negeri. Saya langsung pulang kasih tahu mamaku. Bilang mauka sekolah. Ada ji juga orang buta sekolah, bisa kuliah.”
Tapi, tidak sesuai dengan harapan, kabar itu tak langsung menghapus keraguan keluarga. Ibu dan keluarga lainnya merasa bimbang—takut Wawan kecewa, takut diejek, takut tak ada yang bisa membantu. Untungnya Wawan tidak menyerah. Diputuskannya untuk terus membicarakan keinginannya itu.
“Saya minta sama mamaku untuk datang ke rumahnya itu tante yang ceritakan keponakannya waktu di pantai. Trus kami diantar langsung ke rumah keponakannya. Dan ternyata betul, dia juga tunanetra. Saya dikasi pegang Al-Quran Braille, dikasi coba HP bicara, dan dikasi tau sekolah yang bagus untuk tunanetra.”
Pulang dari sana, keluarganya mulai percaya. Namun rasa tidak tega masih menggantung kuat. Itu menjadi hambatan bagi Wawan. Di sisi lain, ia sangat ingin kembali bersekolah. Tetapi di sisi lain, stigma bahwa difabel adalah seseorang yang kasihan, tak mampu dan harus dibantu setiap saat mengungkungnya begitu erat.
“Mamaku sama keluarga tidak tega, tapi menangis ka terus minta diantar pergi sekolah. Kupikirki mauka jadi apa kalau tidak sekolah. Jadi begitu mi, selaluka menangis kalau mintaka diantar, baru tidak maui.” (mamaku dan keluarga tidak tega, tapi saya menangis terus, minta diantar sekolah, saya berpikir, mau jadi apa kalua tidak sekolah. Jadi begitu, saya menagis terus minta diantar ke sekolah).
Lelaki yang dia temui dari perkenalan bersama Tante itu adalah Nur Syarif Ramadhan, nama yang tidak lagi asing di kalangan difabelnetra. Khususnya di kota Makassar. Syarif walaupun tidak banyak terlibat menggerakkan komunitas lokal, tetapi sudah dipercayai di tingkat nasional dan melakukan hal-hal besar. Namanya terkenal sebagai difabel yang sudah berkeliling dunia. Itu yang membuat Wawan semakin optimis.
“Sampai akhirnya dua bulan setelah ketemu dengan kak Syarif, saya diantar ke Yapti. Tapi tidak langsungka lagi dikasi tinggal, katanya tunggu saja PPDB. Jadi saya bulan Mei ke Yapti, bulan Juli baru datang kembali untuk sekolah.”
Kisah Wawan, meskipun berliku, sebenarnya tetap tidak cukup untuk merepresentasikan posisi anak difabel lainnya. Yang juga jauh dari sumber informasi dan tidak bertemu dengan pengetahuan mengenai pendidikan inklusi. Wawan beruntung karena bertemu dengan Syarif tanpa sengaja, tapi bagaimana dengan difabel-difabel lainnya di luar sana? Banyak difabel di Makassar baru dapat melanjutkan sekolah di usia yang sudah cukup tua akibat menjadi difabel di usia remaja, kemudian tidak terpapar informasi pendidikan inklusi. Wawan adalah bukti nyata betapa rapuhnya sistem pendidikan kita yang hanya tampak baik di kota, tapi rapuh di desa.
Yang lebih menyedihkan, fenomena seperti Wawan sudah dianggap “biasa.” Tidak sulit menemukan siswa SLB dengan usia biologis belasan akhir atau bahkan di atas 20 tahun yang masih duduk di tingkat sekolah dasar. Penulis sendiri mengenal banyak kawan seperti itu.
Kenapa? Karena setelah putus sekolah 3–5 tahun, baru ada akses kembali—dan mereka harus mengulang di jenjang yang tidak sesuai usia.
Tentu saja dampaknya tidak berhenti di ruang kelas. Banyak difabel akhirnya dipaksa “mengubah” atau memalsukan tahun lahir di dokumen demi menyesuaikan umur dengan jenjang sekolah. Lebih lanjut, sistem pendidikan kita menutup mata pada trauma sosial yang muncul. Anak yang lama putus sekolah menjadi minder, kehilangan rasa percaya diri, menghadapi mental block yang tak pernah diatasi. Tidak ada program transisi yang membantu mereka kembali ke kelas. Tidak ada pelatihan untuk guru sekolah umum agar siap menerima anak yang tiba-tiba menjadi difabel.
Padahal ini bukan kasus langka. Ribuan anak di Indonesia mengalami kebutaan mendadak karena infeksi, kecelakaan, atau sebab lain. Ribuan anak menjadi difabel fisik atau sensorik karena bencana atau demam tinggi.
Sudah saatnya pemerintah berhenti bersembunyi di balik retorika inklusi yang hampa. Pendidikan dasar dan menengah harus dievaluasi secara kritis—apakah benar hak anak difabel dipenuhi? Apakah sistem kita siap menerima anak yang menjadi difabel di usia sekolah? Di tingkat kementerian, perlu segera disusun sistem pendidikan yang benar-benar kolaboratif. Sekolah reguler dan Sekolah Luar Biasa (SLB) tidak boleh lagi berjalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi. Harus ada satu komando kebijakan dengan alur rujukan yang jelas.
Bayangkan jika sekolah reguler menemukan siswa yang tiba-tiba menjadi difabel. Dengan sistem rujukan yang baik, ia bisa diarahkan ke SLB untuk mendapat layanan rehabilitasi dan habilitasi: membangun kepercayaan diri, belajar aktivitas dengan kondisi barunya, menyiapkan diri untuk kembali ke masyarakat. Setelah itu, ia bisa kembali ke sekolah asalnya.
Sebaliknya, jika di SLB ada siswa dengan potensi akademik yang baik, ia seharusnya bisa dirujuk ke sekolah reguler. Karena pada hakikatnya, pendidikan segregasi bukan tujuan akhir. Itu adalah fase transisi untuk menyiapkan difabel hidup dengan normal tanpa segregasi.[]
Reporter: Yoga ID
Editor : Ajiwan







