Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Sumber Youtube Atamerica

@america Gelar Talkshow Tantangan dan Peluang AI bagi Prospek Kerja Difabel

Views: 7

Solidernews.com – Pada Selasa, 10 Desember 2024, Pusat Kebudayaan Amerika di Jakarta atau yang biasa dikenal dengan @america mengadakan talkshow bertajuk “Inclusion 101: The Rise of Artificial Intelligence in the Workplace.” Acara tersebut menyorot tentang apakah AI membawa tantangan atau peluang bagi dunia kerja serta dampak AI terhadap aksesibilitas pekerjaan.

Talkshow tersebut mendatangkan dua pembicara yang ahli di bidangnya, yaitu Istigfaro Anjaz Ajizi selaku Digital Regulatory Analyst dan Hasnita Taslim selaku Founder PT Disabilitas Kerja. Acara yang berlangsung selama 90 menit ini di moderatori oleh Abi Marutama, Alumni YSEALI Professional Fellow.

Artificial Intelligence (AI) merupakan kecerdasan berdasarkan program berbasis komputer yang dibuat oleh manusia dan dapat berpikir sendiri sehingga dia dapat menyerupai perilaku manusia. Hingga kini, AI telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk dunia kerja.

Misalnya, seperti zaman dulu walaupun sudah ada robot, tapi tidak bisa secara otomatis memasak. Tapi dengan kemajuan artificial intelligence, sekarang robot sudah bisa melakukan kegiatan manusia. Bahkan di Hongkong sudah ada koki robot yang dapat memasak nasi goreng dan sebagainya.

Dalam pembukaannya, Abi Marutama menyatakan mengenai gambaran umum dari Artificial Intelligence dan dampak dari adanya AI. “Apakah artificial intelligence ini akan mengulang kembali sejarah revolusi industri di masa pertengahan 1800-an, dimana mesin sudah menggantikan tenaga kerja buruh. Tapi di satu sisi kecerdasan buatan juga memberikan dampak positif khususnya bagi teman-teman  difabel. Misalnya, ada salah satu perusahaan yang membuat artificial intelligence bagi orang-orang demensia. Dimana kecerdasan buatan itu dibuat berdasarkan rekaman-rekaman atau memori-memori dari orang-orang yang mengalami demensia. Berdasarkan rekaman-rekaman tersebut AI ini dapat membantu mereka untuk bisa hidup layaknya manusia pada umumnya.”

“Akan tetapi, di sisi lain AI juga dapat mengambil pekerjaan manusia, khususnya penyandang difabel yang memiliki hambatan dalam mengakses layanan pekerjaan. Apakah dengan adanya AI ini justru semakin menarik perusahaan-perusahaan untuk merekrut  difabel atau malah mereka memanfaatkan AI dan meninggalkan para  difabel.” Imbuhnya.

 

Perkembangan Terbaru Artificial Intelligence di Indonesia

Hadirnya AI ini cukup berbeda, sebab semua inovasi yang diciptakan oleh manusia pada hakikatnya untuk mempermudah kehidupan kita. Tapi dengan AI ini, revolusi yang terjadi saat ini berbeda. Karena AI tidak hanya mempermudah kehidupan manusia tetapi dia juga mengambil alih decision making process atau keputusan yang melekat pada diri manusia itu sendiri.

Ray Kurzweil memprediksi bahwa AI hanyalah step awal manusia sebelum kita masuk ke step yang lebih dalam yaitu era singularitas. Dimana AI saat ini masih berada diluar tubuh manusia, contohnya seperti handphone, laptop, dkk. Menurut Kurzweil, di tahun 2045 akan terjadi integrasi dimana manusia dan mesin akan bersatu dan terjadi singularitas.

Sehingga tidak ada batasan antara manusia dan teknologi. Misalnya, di neuralink salah satu perusahaan milik Elon Musk mulai menciptakan suatu alat seperti chip yang bisa membantu orang-orang yang memiliki demensia. Penciptaan tersebut berdasarkan 3 hal yaitu, teknologi, biologi, dan manusia itu sendiri.

Negara-negara maju ketika meregulasi AI, salah satu pertimbangan terbesarnya adalah bagaimana kepentingan nasional mereka terhadap AI itu sendiri. Saat ini Indonesia memiliki surat edaran dari kominfo di tahun 2023 yang menjadi pedoman etik terhadap pelaksanaan AI di Indonesia.

“Seharusnya pemerintah bersama legislator bisa bersama-sama untuk memikirkan secara khusus bagaimana sebaiknya Indonesia memposisikan diri. Karena seringkali kita hanya menduplikasi regulasi yang ada di Internasional. Misal General Data Protection Regulation (GDPR), Indonesia hanya mengcopy paste atau menjadikan itu inspirasi sebagai Undang-undang Perlindungan Data Pribadi atau UU PDP. Padahal secara konsep dan secara keadaan baik itu ekonomi, politik dan teknologi, capabilitynya belum tentu sama dan cocok. Sehingga jangan sampai kita hanya menduplikasikan saja dari suatu negara.” Tutur Istigfaro Anjaz dalam talkshow yang diadakan oleh @america pada 10 Desember 2024.[]

 

 

Reporter: Ajeng Safira

Editor      : Ajiwan Arief

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content