Views: 38
Solidernews.com – Peringatan Hari Kursi Roda Sedunia pada 1 Maret menggambarkan semangat kebebasan dan aksesibilitas bagi pengguna kursi roda di ruang publik. Setiap tahun, peringatan ini menyampaikan pesan yang kuat tentang pentingnya kursi roda sebagai simbol kebebasan bergerak, mobilitas tak terbatas, serta kemandirian dalam berkomunitas. Namun, perlu dicatat bahwa kursi roda yang digunakan oleh difabel memiliki perbedaan yang jelas dengan kursi roda pasien di lingkungan rumah sakit.
Berdasarkan Konvensi PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas (CRPD), hak atas kemandirian mobilitas diakui sebagai hak asasi manusia yang tak terpisahkan. Difabel memiliki hak untuk memperoleh kursi roda yang sesuai dengan kebutuhan dan preferensi mereka.
Menurut data dari Susenas 2020, diperkirakan terdapat sekitar 10,3 juta rumah tangga yang memiliki anggota keluarga dengan difabsl. Dari jumlah tersebut, sebanyak 8,2 juta difabel tidak memiliki asuransi kesehatan. Dari mereka, sekitar 8.795.033,76 orang mengalami masalah pada kaki, namun hanya sekitar 70 persen dari jumlah tersebut, atau sekitar 6.156.523 orang, yang memiliki akses ke kursi roda.
Sementara selama ini, banyak lembaga bantuan hanya fokus pada pemberian kursi roda tanpa memperhatikan kebutuhan individu pengguna. Pendekatan semacam ini lebih cenderung menuju pada semangat “charity”, yang seharusnya tidak lagi menjadi paradigma dalam memandang isu difabel. Pendekatan ini hanya melihat difabel sebagai objek penerima bantuan, bukan subjek yang memiliki potensi untuk berkembang secara kreatif dan mandiri. Oleh karena itu, seringkali bantuan yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan yang sebenarnya. Ukuran kursi roda, medan yang akan dilalui, dan aktivitas sehari-hari pengguna tidak selalu dipertimbangkan.
Dalam banyak kasus, pemberian bantuan kursi roda didasari oleh rasa kasihan belaka, tanpa memperhatikan kebutuhan dan potensi sebenarnya dari individu difabel. Hal ini mengakibatkan penggunaan kursi roda yang kurang sesuai dan tidak mendukung kegiatan sehari-hari mereka.
Padahal, jenis kursi roda yang digunakan oleh difabel memiliki perbedaan yang mencolok dengan jenis kursi roda yang digunakan oleh pasien di lingkungan rumah sakit. Kursi roda bagi difabel dirancang untuk penggunaan jangka panjang, di mana seorang difabel mungkin menghabiskan sebagian besar atau bahkan seluruh hari duduk di kursi rodanya. Karenanya, kursi roda ini membutuhkan spesifikasi yang sangat terperinci, seperti pengukuran tinggi punggung, lebar panggul, panjang tungkai, dan panjang lengan.
Bahan tempat duduk dan sandaran kursi roda untuk difabel juga berbeda dengan kursi roda pasien di rumah sakit. Tempat duduk dan sandaran kursi roda untuk difabel sering kali dilapisi dengan busa yang lebih tebal dan kain yang lebih nyaman. Di sisi lain, kursi roda pasien di rumah sakit jarang menggunakan busa pelapis pada tempat duduknya.
Perbedaan terbesar dan paling mendasar antara kursi roda bagi difabel dan kursi roda pasien di rumah sakit terletak pada harga dan kuantitas produksinya. Harga rata-rata kursi roda bagi difabel mencapai lebih dari Rp 10 juta, sementara kursi roda pasien di rumah sakit biasanya berkisar antara Rp 1 hingga 3 juta. Selain itu, kursi roda bagi difabel tidak diproduksi secara massal seperti kursi roda pasien di rumah sakit yang tersedia di toko peralatan kesehatan.
Inovasi Kursi Roda Elektrik
Tim dosen dari Fakultas Teknik Universitas Negeri Surabaya (Unesa) telah merancang sebuah kursi roda yang revolusioner dengan memadukan teknologi canggih dan kebutuhan nyata pengguna. Kursi roda ini bukan hanya sekadar alat bantu, tetapi sebuah solusi komprehensif yang membawa penggunaan kursi roda ke tingkat baru.
Dilengkapi dengan berbagai perangkat komputer, sensor, dan teknologi mutakhir, kursi roda ini menawarkan kemampuan yang jauh melampaui kursi roda konvensional. Komponen utama seperti sasis, sistem penggerak, baterai, dan pengontrol joystick telah dikembangkan dengan sangat cermat untuk memastikan kenyamanan dan keamanan pengguna.
Tidak hanya itu, teknologi pendukung seperti fingertip control (FTC), accelerometer, odometer, dan sensor tekanan diterapkan secara cerdas untuk memastikan respons yang cepat dan akurat terhadap gerakan tubuh pengguna. Penggunaan sensor tekanan pada kursi memungkinkan kursi roda untuk menyesuaikan distribusi tekanan tubuh secara real-time, memberikan kenyamanan maksimal selama penggunaan.
Dengan kontrol yang intuitif dan responsif, kursi roda pintar ini memungkinkan pengguna untuk bergerak dengan lebih leluasa dan mandiri. Bahkan, pengguna tidak lagi memerlukan bantuan dari orang lain untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Melalui terobosan teknologi ini, diharapkan dapat memberikan kualitas hidup yang lebih baik bagi masyarakat difabel dan lansia, serta membuka jalan bagi inklusi yang lebih luas dalam berbagai aspek kehidupan.
Peringatan Hari Kursi Roda bukan sekadar momen euforia, melainkan kesempatan untuk merefleksikan inklusivitas dalam berpikir. Hal ini diharapkan akan mengarah pada pembuatan kebijakan yang lebih inklusif dan mempertimbangkan kebutuhan difabel. Tidak lagi relevan memandang difabel sebagai objek kasihan; dengan memahami dan mengakomodasi kebutuhan mereka, kita telah memberikan kontribusi yang nyata untuk memberdayakan difabel secara mandiri.[]
Penulis: Hasan
editor : Ajiwan
Sumber:
- Artikel dari Tempo mengenai “6 Juta Penyandang Disabilitas Tak Punya Kursi Roda” dapat diakses di: [https://difabel.tempo.co/read/1678315/6-juta-penyandang-disabilitas-tak-punya-kursi-roda](https://difabel.tempo.co/read/1678315/6-juta-penyandang-disabilitas-tak-punya-kursi-roda)
- Informasi mengenai inovasi “Spesial untuk Difabel dan Lansia, Tim FT Rancang Skuter Lipat dan Kursi Roda Elektrik” ditulis oleh Atika Febrina pada tahun 2023.