Views: 103
Solidernews.com, Yogyakarta – SETIAP manusia yang hidup, tak bisa mengelak dengan hadirnya problematika hidup dan kehidupan. Pun demikian dengan orang yang terlahir sebagai difabel. Bisa jadi, problem yang dihadapi lebih berat dari non difabel. Bagaimana pun, problem yang hadir tak jarang akan memengaruhi cara berinteraksi sosial. Cara memaknainya, akan menentukan seseorang mengambil sikap.
Ejekan atau bullying, sebagai satu contoh. Ialah problematika yang kerap harus dihadapi oleh para difabel. Ciut hati, kesal, marah, menangis, merupakan sikap wajar sesaat, ketika mendapati bully. Ketika disikapi sebagai tantangan, maka problem yang dihadapi bisa jadi akan melahirkan sikap positif. Namun, ketika menyikapinya sebagai hujatan, sudah barang tentu akan melahirkan sikap negatif. Malu berkepanjangan, mengurung diri, menyalahkan keadaan, atau depresi bahkan.
Problematika tersebut dinarasikan dan dipentaskan oleh Teater Braille. Satu komunitas, tempat insan tuna netra berkarya seni drama, teater, podcast, serta drama radio dan film. Dikemas dalam kisah yang bertajuk Aku Ada Karena Cinta, sebuah drama terater ditampilkan di Gedung Sosited, Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Sabtu (20/4) malam.
Diberi label teater inklusif, pertunjukkan diperankan oleh sepuluh orang pemain. Enam orang di antaranya ialah orang dengan hambatan penglihatan. Cukup menarik perhatian, pertunjukan berdurasi satu jam itu tak pelak dipadati penonton. Ada para penonton tottaly blind (buta) dan low vision (terbatas penglihatan), ada pula yang tuli. Terlihat para volunter dengan pakaian warna hitam menjadi juru bisik bagi penonton buta, sebagian lagi menjadi juru bahasa isyarat, bagi tuli.
Dukungan moral
Penulis naskah Yuda Wirajaya, blind man (pria buta) mahasiswa semester empat Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, program studi teater. Dia menarasikan pengalaman pribadi sahabatnya. Seorang tuna netra, yang tengah mengalami tumor syarat tulang belakang. Tak hanya bullying yang dihadapi, namun juga sebuah kenyataan amputasi pada kedua kakinya akibat tumor. Berbagai perasaan yang bergejolak, tergambar dalam dialog. Ada marah, sedih, takut, hingga keinginan mengakhiri hidup.
Menjadi buta saja sudah sulit. Apalagi ketika harus kehilangan kedua kakinya. Karenya, kekhawatiran, ketakutan, kemarahan, putus asa, mendera tokoh bernama Jaka. “Saya ada karena cinta, bukan karena karma,” kemarahan yang sekaligus pesan moral disampaikan Jaka.
Drama tersebut juga menggambarkan adanya dukungan moral yang diberikan kedua orang tua Jaka, saudara perempuan, serta seorang kerabat. Sebuah dukungan, yang selayaknya diberikan kepada siapa saja, yang tengah hidup dalam problema.
Menurut Yuda Wirajaya, pementasan tersebut membutuhkan waktu tiga bulan proses latihan. Pun tidak efektif dan maksimal, karena terpotong waktu puasa. Namun dirinya mengaku lega dan bangga telah berhasil mementaskan drama terater tersebut.
“Cukup lega dan bangga. Semoga dapat menginspirasi dan dapat diambil sebagai pembelajaran. Pentas drama ini bisa membuka mata hati, untuk mengasihi sesama, memposisikan difabel setara dengan orang non difabel,” ungkapnya di akhir pementasan.[]
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan