Views: 8
Solidernews.com – Tak bisa dipungkiri, menulis adalah seni yang paling aksesibel bagi difabel netra. Profesi seperti jurnalis, novelis dan atau note taker sudah lumrah ditemui dalam kolom pekerjaan, pada biodata masyarakat difabel netra. Seperti teknologi, barisan huruf pun menawarkan kolaborasi tak terbatas. Dalam artian, siapa pun bisa menulis dan kepemilikannya atas indra penglihatan yang berfungsi dengan baik sama sekali tak dianggap penting.
Buku yang ditulis oleh difabel netra, tidak ada bedanya dengan buku yang ditulis dengan non difabel. Karena pada dasarnya, difabel netra tidak memiliki hambatan sama sekali untuk mengetik di laptop atau menulis menggunakan braille. Nama seperti Rama Aditia Adikara, misalnya. Hanyalah satu dari sekian banyaknya penulis difabel netra yang sudah berkecimpung dalam dunia literasi sejak lama.
Seiring berkembangnya teknologi dan masifnya penggunaan media sosial di Indonesia, kemampuan seni difabel netra khususnya dalam dunia literasi pun turut mengalami perkembangan. Komunitas-komunitas daring (dalam jaringan) dengan corak seni dan literasi, mulai menjamur di mana-mana.
Dari sekian banyaknya komunitas seni daring yang dikelola dan diramaikan oleh difabel netra, dua komunitas percontohan yang diangkat oleh solidernews pada tulisan kali ini adalah Lintas (Literasi tanpa batas) dan F-29 Family. Sebagai komunitas daring, keduanya terbuka untuk difabel netra di seluruh penjuru Indonesia.
“Meski kita punya cita-cita untuk memajukan kemampuan literasi difabel netra, kita sifatnya juga inklusif, ya. Jadi tidak semua orang yang bisa berkarya di dalam Lintas harus difabel netra. Misal kita mengadakan perlombaan pun, itu biasanya bisa diikuti non difabel netra juga,” ucap Zukhrufafu Aida pada Webinar “berdaya Dengan Kata” yang diselenggarakan DPP Pertuni pada Minggu, 19 Januari 2025.
Perempuan yang akrab disapa Aida itu pun, telah berhasil menulis naskah yang akhirnya diterbitkan menjadi buku. Di Lintas, ia dan kawan-kawannya aktif menyebar pengetahuan. Materi-materi singkat tetapi juga berisi seperti tata cara penggunaan tanda kutip, huruf kapital dan memiringkan teks adalah hal yang mungkin dipandang remeh oleh orang-orang lain, tetapi menurut Lintas perlu untuk dibagikan mengingat pengetahuan literasi difabel netra yang belum tersebar dengan merata. Selain mengedukasi masyarakat mengenai aturan-aturan baku dalam aktivitas menulis, Lintas juga rutin mengadakan perlombaan untuk mengapresiasi bakat-bakat dan minat para pegiat literasi. Mulai dari kompetisi cipta baca puisi, pantun dan masih banyak lagi. Seperti yang sempat disinggung oleh Aida, kegiatan-kegiatan Lintas bersifat inklusi tanpa batasan peserta. Founder komunitas ini pun, tak jarang merogoh kocek membiayai anggota-anggotanya untuk mengikuti pelatihan literasi.
“Kita mau mengajak semua orang untuk berkarya, ya. Dan karya kita biasanya diposting ke media sosial seperti facebook, Instagram bahkan YouTube,” jelas Aida.
Dalam kesempatan yang sama, Siti Aziza selaku perwakilan dari F-29 Family pun berbagi kisah yang nyaris serupa. Jika Lintas resmi berdiri pada tahun 2022 yang lalu, F-29 Family didirikan sedikit lebih dulu. Yaitu pada tahun 2020. Laman FaceBook F-29 Family yang menjadi jalur utama penayangan karya-karya mereka, dibuat pada bulan Mei 2020 dan sampai dengan sekarang masih aktif menerbitkan karya.
Siti Aziza bercerita, hadirnya nama F-29 Family adalah buah dari rasa cinta founder komunitas tersebut pada burung feniks yang dipercaya memiliki keunikan terbakar untuk terlahir kembali dalam bentuk yang lebih indah. Siti memandang F-29 sebagai rumah, tempat ia dan kawan-kawannya berbagi ide dan mengembangkan kreafitas dari setiap anggota.
“Kalau kita sendiri bukan hanya bergelut dalam seni tulis menulis, puisi dan cerpen. Tapi lebih beragam. Kita juga rutin membuat drama audio. Nah, Kak Aida ini juga gabung di F-29 Family dan sangat hobi akting. Biasanya sih yang terlibat, mayoritas adalah difabel netra. Mulai dari penulis naskah, pemeran sampai dengan pengedit audio,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Di F-29 Family, mereka memiliki sistematika perekrutan yang jelas. Meliputi pengumuman open call untuk pendaftaran, pendaftaran sampai dengan seleksi internal. Berbeda dengan F-29 Family, Lintas sendiri juga membuka kesempatan untuk bergabung ke dalam komunitas mereka tanpa melalui prosedur pendaftaran.
“Biasanya kalau ada teman yang mencolok nih, aktif membuat karya atau kelihatan mau belajar. Kita akan ajak buat masuk ke Lintas. Atau misalnya kita ada lomba. Kalau misal ada peserta lomba yang sesuai dengan kriteria kita, ya kita tawari untuk bergabung ke dalam Lintas,” ucap Aida menjelaskan pada seluruh audiens yang bergabung di dalam Zoom webinar “Berdaya Dengan Kata”.
Kembali membahas F-29 Family, Siti juga mengungkapkan rasa bahagianya melihat perkembangan literasi di Indonesia, khususnya pada kalangan difabel netra muda yang terbilang masif. Tidak lupa, ia mengajak setiap orang tanpa terkecuali untuk mengirimkan karya ke F-29 Family.
“Semua orang bisa berkarya bersama kami di F-29 Family. Misal teman-teman punya puisi, mau dibacakan, itu bisa dikirim ke kami. Begitu pun kalau teman-teman hobi nyanyi, mau nyanyi bareng anggota F-29 Family, itu bisa. Dan masih banyak lagi ya karya-karya yang kita garap. Mulai dari puisi, drama audio, cerpen sampai dengan kata-kata mutiara. Kami juga tidak pernah membatasi ruang kolaborasi. Jadi siapa pun, bahkan yang bukan anggota Finiks, bisa menjalin kerjasama dan berkarya dengan kami,” ungkap Siti.
Perubahan trend seni dalam satu dekade belakangan ini, memang terjadi signifikan. Teknologi membawa perubahan besar dalam semua bidang kehidupan mulai dari pendidikan, kesehatan, komunikasi dan sampai dengan literasi. Tumbuhnya komunitas daring seperti Lintas dan F-29 Family, sebenarnya bukan hanya soal pemberian ruang berkarya bagi difabel netra, tetapi juga ajang untuk melakukan edukasi dan menyelesaikan permasalahan minor. Misalnya saja seperti dampak negatif yang disebabkan oleh teknologi, yaitu pembiasaan menggunakan pembaca layar sehingga difabel netra meninggalkan braille dan kemudian mengalami krisis pengetahuan literasi. Penggunaan titik, koma, tanda kutip, buka kurung dan apalagi memiringkan huruf, misalnya. Sangat sulit didapatkan secara organik oleh difabel netra melalui aktivitas membaca menggunakan pembaca layar. Maka dari itu Lintas dan F-29 Family diharapkan dapat mendorong difabel netra untuk peduli pada kemampuan literasi, menyadarkan difabel netra bahwa menggunakan tanda baca dengan benar dan kata dengan ejaan yang benar.
Solidernews pun sempat melakukan kunjungan pada media sosial Lintas dan F-29 Family. Seperti yang disampaikan oleh masing-masing perwakilan dalam webinar “Berdaya Dengan Kata”, komunitas mereka rutin memproduksi karya dan juga mengadakan perlombaan. Jumlah penayangan, komentar dan reaksi dalam setiap postingan memanglah belum mencapai angka ribuan. Istilah gaulnya, “belum FYP” tapi integritas dan kreatifitas dari kedua komunitas ini sangat patut untuk diacungi jempol. Mulai dari tahun berdirinya, mereka mengelola dan menggerakkan semangat literasi ini tanpa bantuan materil dari pihak mana pun. Tetapi tanpa pamrih, tetap menyebar pengetahuan. Nama-nama seniman besar sebut saja seperti IBS Palogai, bahkan, pernah dihadirkan oleh Lintas untuk mengedukasi mereka mengenai cara penulisan yang menarik. Dampaknya mungkin dipandang kecil dan remeh, tapi niat baik yang dijalankan dengan terus menerus pasti akan melahirkan karya-karya yang berkualitas.[]
Reporter: Nabila May
Editor : Ajiwan