Views: 20
Solidernews.com – Masalah yang berkaitan dengan akses kesetaraan bagi masyarakat difabel tidak hanya menyangkut infrastuktur sarana-prasarana dan pelayanan publik semata, akan tetapi juga dirasakan masih minimnya terhadap akses keadilan atau access to justice.
Prosedural hukum yang ada dalam sebagian kasus masih ditafsirkan secara tekstual, sehingga menghalangi hak-hak masyarakat difabel saat berhadapan dengan hukum baik berstatus sebagai korban, saksi atau pelaku.
Hak difabel agar bisa mendapatkan persamaan di hadapan hukum merupakan salah satu prinsip dari dua puluh enam prinsip yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan (Ratifikasi) Konvensi Hak-Hak Penyandang disabilitas. Retifikasi tersebut juga diadopsi dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, terutama pada upaya membangun kesetaraan hak masyarakat difabel dalam sistem peradilan.
Prinsip hak kesetaraan di hadapan hukum ini termasuk hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam sistem peradilan. Dari prinsip ini pula akan sangat banyak instrumen aturan lebih rinci yang dibutuhkan.
Contohnya, ada jaminan hak masyarakat difabel untuk mendapatkan bantuan hukum secara probono atau gratis. Karena sangat memungkinkan untuk dapat mengumpulkan para lawyer (pengacara) yang bisa memberi bantuan hukum probono kepada difabel. Untuk itu tentu dibutuhkan aturan dan ruang dalam mengkonsolidasikannya.
Masyarakat difabel sulit mendapatkan akses keadilan ketika berproses di pengadilan, baik jaminan sarana fisik maupun secara prosedur hukum yang ramah terhadap difabel. Sarana dan prasana fisik di sejumlah lembaga hukum, termasuk pengadilan masih didesain untuk masyarakat umum, belum mengakomodir aksesibilitas bagi masyarakat difabel.
Selain itu, prosedur hukum acara yang melibatkan difabel masih ditafsirkan secara kaku oleh aparat penegak hukum yang mengakibatkan hak-haknya terabaikan. Sehingga diperlukan kerja sama untuk meningkatkan kapasitas aparat penegak hukum dalam menjamin pemenuhan hak atas peradilan yang fair bagi difabel.
Muhammad Joni Yulianto, Direktur Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB), mengungkapkan dalam beberapa kasus yang didampingi, difabel kerap mengalami ketidakadilan dalam proses hukum.
Seperti dalam kasus-kasus tindak pidana kekerasan seksual yang dialami oleh difabel Tuli atau mental dan intelektual sebagai korban, pihak kepolisian tidak bisa melanjutkan kasusnya dengan alasan tidak bisa menggali keterangan korban. Kondisi ini seringkali menjadi salah satu hambatan dalam proses peradlilan.
Saat ini Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah disahkan, dan menjadi salah satu kebijakan yang memiliki kekuatan hukum. Namun dalam implementasinya di lapangan, proses peradilan bagi masyarakat difabel masih sangat memerlukan pengawalan yang ketat.
Bentuk-bentuk pemberian pelayanan umum selama berproses dalam kasus hukum terhadap difabel juga masih perlu ditingkatkan. Aparat penegak hukum yang memang sudah memiliki kemampuan dalam berinteraksi kepada difabel, kadang harus mengalami mutasi tugas dan berpindah tempat.
Situasi ini pun menjadi pertimbangan lain dalam konsistensi melakukan edukasi serta advokasi awwernes dan kepekaan aparat penegak hukum untuk terus belajar dan menambah sensitifitasnya untuk memberikan pelayanan pada difabel.
Akses layanan keadilan bagi difabel yang terpenuhi dengan baik dapat membantu percepatan pada sebuah kasus hukum yang sedang dihadapi difabel.
Infrastuktur bangunan gedung seperti pengadilan dan lembaga layanan hukum lainnya yang akses bagi semua lapisan masyarakat, termasuk untuk difabel dapat memudahkan mobilitas serta meningkatkan keberanian dari difabel yang menjadi korban tindak kekerasan untuk mau melaporkan dan mau melanjutkan kasusnya sesuai proses hukum yang berlaku.
Salah satu alasan yang mendasar bagi difabel yang bersangkutan dengan hukum, terutama saat menjadi korban dan enggan untuk memprosesnya adalah karena sulitnya mengakses bangunan gedung, selain prosedural layanan yang masih sulit mereka pahami.[]
Reporter: Sri Hartanty
Editor : Ajiwan Arief