Views: 4
Solidernews.com – Semua orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum, termasuk bagi kelompok rentan dan masyarakat difabel. Salah satu prinsip atau asas yang penting dalam suatu negara hukum adalah asas persamaan di hadapan hukum (Equality before the law). Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat (1) menerangkan, segala warga negara sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum tersebut tanpa adanya pengecualian.
Banyak upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman mengenail hak-hak difabel dalam proses peradilan di Indonesia, semisal melalui kegiatan seminar. Harapanya agar tercipta sistem peradilan yang inlusif dan responsif terhadap kebutuhan khusus masyarakat difabel.
Sigab Indonesia sebagai lembaga advokasi difabel bekerjasama dengan Kantor Staff Presiden (KSP) mengadakan seminar nasional bertema ‘Akses keadilan bagi penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum,’ pada Selasa pagi (24/9) secara online.
“Semangat untuk mendorong akses keadilan yang inklusif tentu sudah menjadi kerja panjang. Hasil dari advokasi yang melahirkan kebijakan akomodasi yang layak bagi difabel terus digulirkan di internal untuk mewujudkan peradilan yang inklusif dan fair bagi difabel,” tutur Joni Yulianto, Direktur Sigab Indonesia.
Pada kegiatan tersebut hadir perwakilan Mahkamah Agung (MA) serta empat peradilan yang ada di bawahnya, hadir pula perwakilan dari Kepolisian RI, Kejaksaan Agung RI, lembaga bantuan hukum, akademisi, perguruan tinggi, dan masyarakat difabel baik dari organisasi maupun individu yang konsen dan komitmen dalam memperjuangkan hak-hak difabel.
Para pihak yang dapat mengakses bantuan hukum dan perubahan mindset
Prof. Dr. Rumadi Ahmad, mewakili KSP dupeti V berpendapat, terkait pentingnya perubahan mindset saat menghadapi difabel.
“Perlu ada upaya kolaborasi untuk pemenuhan hak-hak masyarakat difabel dalam proses peradilan,” ucapnya.
Audi Murfy MZ, SH.MH., Penyuluh hukum ahli utama Kemenkum HAM, dan Sekretaris Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN 2017-2023) menjelaskan, sangat penting arti bantuan hukum yang memiliki tujuan pemenuhan akses keadilan, hak konstitusi, kepastian hukum dan peradilan yang efektif dan efisien pada semua pihak termasuk kelompok rentan masyarakat difabel. Bantuan hukum masuk dalam rencana aksi nasional.
“Meski angkanya tergolong kecil, ada dari kalangan difabel yang sudah dapat layanan bantuan hukum dari 2022 hingga 2024 ini,” kata ia.
Lebih tegas Audi mengatakan, penerimaan bantuan hukum harus diperluas, tidak hanya kepada masyarakat miskin atau kurang mampu secara ekonomi saja, tapi pada kelompok rentan, difabel, anak, perempuan, dan masyarakat adat.
Upaya pemenuhan hak atas akomodasi yang layak bagi difabel
Pemenuhan akomodasi yang layak berdasarkan Peraturan pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 serta hak atas keadilan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas terus diupayakan para pihak yang terlibat langsung dalam tahapan proses peradilan.
AKBP Ema Rahmawati, Kepala Unit PPA Bareskrim Polri mengulas, untuk strategi penanganan perkara difabel di lingkungan kerja. Ia memaparkan, stateginya seperti Polri tidak akan mempertemukan difabel sebagai korban dengan pelaku.
Polri mengembangkan komunikasi yang efektif, menyampaikan hak-hak difabel dalam proses penyidikan, mengembangkan standar pemeriksaan, dan hal lain yang berkaitan dengan pemenuhan akomodasi yang layak bagi difabel, berupaya meningkatkan kemampuan penyidik dalam penanganan, meningkatkan koordinasi dengan pihak terkait, menyusun pedoman/SOP, meningkatkan anggaran dan struktur unit PPA menjadi direktorat PPA.
Bareskrim Polri juga sedang menyusun ‘Perkabareskrim Polri’ tentang Pedoman Penanganan Penyandang Disabilitas di lingkungan polri.
“Hal penting lain, ada pendampingan, ada assesment kebutuhan akomodasi yang layak bagi difabel, dan penyidik juga memberi perlindungan sementara pada korban dari ancaman pelaku. Untuk itu penting ada sinergitas antara penyidik dan pendamping difabel,” ungkap ia.
Pendapatnya, Polri terus berupaya dalam memenuhi akomodasi yang layak bagi difabel meski kondisi anggaran masih terbatas. Kendala lain yang masih dihadapi juga tentang penilaian personal belum ada kesamaan dalam praktiknya.
“Pihak Kementerian Kesehatan juga belum bisa memberikan penjelasan terkait praktik penilaian personal,” pungkasnya.
Menurut Ema, hal tersebut juga akan menjadi kendala dalam proses penyidikan karena dalam peraturan Jaksa Agung sudah diatur mengenai hasil penilaian personal yang menjadi satu kesatuan berkas penyidikan.[]
Reporter: Sri Hartanty
Editor : Ajiwan Arief