Views: 55
Solidernews.com –Berdasarkan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), terdapat 987 kasus kekerasan terhadap difabel dan 91,5 % dari korban adalah perempuan (Prabawati, 2023). Angka tersebut sangat mungkin tidak mencerminkan realita. Hal ini karena banyaknya korban difabel yang tidak melaporkan perkaranya karena anggapan bahwa penegak hukum tidak dapat menangani kasus secara baik, khususnya yang melibatkan individu dengan disabilitas (Powers dan Hayes, 2022). Anggapan tersebut bukan tanpa alasan.
Masih ditemui kasus dimana korban difabel mengalami kesulitan dalam memberikan keterangan kepada penegak hukum karena tidak sediakan pendamping (Sarasa, 2023). Masih ada pula anggapan bahwa penyandang disabilitas atau difabel, khususnya difabel mental dan intelektual, dianggap tidak memiliki kemampuan untuk memberikan keterangan sebagai saksi atau korban (Rahmawati, 2023). Padahal kemampuan untuk memberikan keterangan sebagai saksi atau korban merupakan hal yang fundamental dalam perkara pidana, apalagi dalam kasus yang cenderung tertutup atau ditutupi (eg. kekerasan seksual). Oleh karena itu, perlu pemahaman yang tepat mengenai hak difabel dalam peraturan perundang-undangan untuk memberi keterangan sebagai saksi atau korban dalam perkara pidana.
Alat Bukti Keterangan Saksi dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia
Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa terdapat lima alat bukti dalam perkara pidana, yaitu:
- Alat bukti keterangan saksi;
- Alat bukti keterangan ahli;
- Alat bukti surat;
- Alat bukti petunjuk;
- Alat bukti tersangka/terdakwa.
Kemudian Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa penjatuhan pidana oleh hakim dalam persidangan harus didasari oleh sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah (bewijs minimum)
dan memperoleh keyakinan hakim (Hiariej, 2012). Secara kualitatif, pemenuhan bewijs minimum tersebut dapat diambil melalui dua dari lima alat bukti yang ada dalam Pasal 184 KUHAP. Kemudian secara kuantitatif, bewijs minimum ditentukan dengan dua orang saksi yang dihitung sebagai dua alat bukti. Ketentuan selebihnya mengenai pemenuhan bewijs minimum diatur dalam Pasal 185 KUHAP (Werluka, 2019).
Definisi ketentuan Saksi dalam hukum acara pidana terdapat dalam Pasal 1 Angka 26 dan 27 KUHAP, yang berbunyi:
Pasal 26
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia Iihat sendiri dan ia alami sendiri.
Pasal 27
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, Ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu.
Definisi saksi dalam KUHAP diperluas dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PPU-VIII/2010 yang menyatakan bahwa “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.” Melalui putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, definisi keterangan saksi sebagai alat bukti bukan hanya keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar, lihat, dan alami sendiri termasuk pula keterangan dari setiap orang yang punya pengetahuan yang terkait langsung terjadinya tindak pidana (Werluka, 2019). Sehingga siapapun, yang memiliki pengetahuan mengenai terjadinya tindak pidana, tanpa memandang status disabilitas, memiliki hak untuk menjadi saksi.
Dengan pentingnya peran saksi dalam perkara pidana, hak untuk menjadi saksi juga disertai dengan hak yang harus dipenuhi, dilindungi, dan dihormati sebagai saksi, termasuk hak untuk dapat sebaik mungkin memberikan keterangannya. Hal ini tercermin dalam beberapa ketentuan di dalam KUHAP sebagai berikut:
- Pasal 113 KUHAP: Hak untuk dilakukan pemeriksaan di tempat kediamannya jika saksi dapat memberikan alasan yang patut dan wajar bahwa dirinya tidak dapat datang kepada
- Pasal 117 ayat (1) KUHAP: Hak untuk memberikan keterangan tanpa tekanan dari siapa pun atau dalam bentuk apapun.
- Pasal 118 KUHAP: Hak saksi untuk menolak menandatangani berita acara yang memuat keterangannya dengan memberikan alasan yang kuat.
- Pasal 166 KUHAP: Hak untuk tidak diajukan pertanyaan yang menjerat kepada
- Pasal 177 ayat (1) KUHAP: Hak atas juru bahasa jika saksi tidak paham bahasa
- Pasal 178 ayat (1) KUHAP: Berhak atas seorang penerjemah jika saksi tersebut bisu dan/atau tuli serta tidak dapat menulis.
Dalam konteks disabilitas, difabel yang berperan sebagai saksi memiliki hak untuk dapat memberikan keterangan dengan sebaik-baiknya walaupun memiliki hambatan dan tantangan tersendiri. Dalam penentuan hambatan dan halangan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 mengklasifikasikan 4 jenis disabilitas [mfn]Pasal 4 ayat 2 UU Disabilitas mempertegas bahwa seorang individu dapat memiliki disabilitas tunggal, ganda, atau multi-disabilitas. [/mfn] yaitu:
- Penyandang Disabilitas Fisik adalah terganggunya fungsi gerak, antara lain amputasi, lumpuh layuh atau kaku, paraplegi, celebral palsy (CP), akibat stroke, akibat kusta, dan orang kecil.
- Penyandang Disabilitas Intelektual adalah terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain lambat belajar, disabilitas grahita dan down syndrome.
- Penyandang Disabilitas Mental yaitu adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain: Pertama, psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxiety, dan gangguan kepribadian; dan Kedua, disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif
- Penyandang Disabilitas Sensorik adalah terganggunya salah satu fungsi dari panca indera, antara lain disabilitas netra, disabilitas rungu, dan/atau disabilitas
Perlu dipahami bahwa walaupun terdapat 4 klasifikasi jenis difabel berdasarkan UU Disabilitas, difabel memiliki keberagaman. Dalam konteks tersebut, setiap individu difabel memiliki hambatan dan tantangan tersendiri dan mungkin berbeda dengan difabel lain walaupun memilii klasifikasi yang sama berdasarkan UU Disabilitas. Misalnya difabel sensorik tuna rungu dapat memiliki tingkat pendengaran dan kemampuan komunikasi yang berbeda, seperti individu yang merupakan tuna rungu sejak lahir dan tuna rungu setelah dewasa.
Keberagaman ini membutuhkan pengakomodasian yang tentunya berbeda-beda dari satu individu dengan individu lainnya. Oleh karena itu, konsepsi Akomodasi yang Layak menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan hak difabel sebagai saksi dalam perkara pidana.
Akomodasi Yang Layak bagi Difabel sebagai Saksi dalam Perkara Pidana
Konsep Akomodasi yang Layak telah diakui dalam instrumen hukum pada berbagai tingkat. Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on The Rights of Persons with Disabilities atau CRPD)[mfn]Diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan CRPD.[/mfn] menyatakan bahwa Akomodasi yang Layak adalah penerapan dari prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi. UU Disabilitas juga telah mengakui pentingnya Akomodasi yang Layak demi menjamin difabel mendapatkan hak dan kebebasannya dan turut serta berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat.
UU Disabilitas mendefinisikan Akomodasi yang Layak sebagai:
“Modifikasi dan penyesuaian yang tepat dan diperlukan untuk menjamin penikmatan atau pelaksanaan semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental untuk penyandang disabilitas berdasarkan kesetaraan”
Dalam konteks menjadi saksi, UU Penyandang Disabilitas mewajibkan penegak hukum untuk menyediakan Akomodasi yang Layak bagi difabel yang berhadapan dengan hukum. Hal ini termasuk difabel yang berperan menjadi saksi.
Lebih lanjut, Pemerintah mengeluarkan peraturan turunan dari UU Penyandang Disabilitas yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan (PP 39/2020), yang memberikan kewajiban bagi lembaga penegak hukum, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, Mahkamah Konstitusi. Selain itu, lembaga lain yang terkait dalam proses peradilan seperti rumah tahanan negara, lembaga penempatan anak sementara, lembaga pemasyarakatan, lembaga pembinaan khusus anak, balai pemasyarakatan, organisasi Advokat, dan lembaga penyelenggara kesejahteraan sosial; untuk menyediakan Akomodasi yang Layak bagi difabel.
Penyediaan Akomodasi yang Layak didasari oleh instrumen Penilaian Personal. Berdasarkan PP 39/2020, Penilaian Personal merupakan “upaya untuk menilai ragam, tingkat, hambatan, dan kebutuhan Penyandang Disabilitas baik secara medis maupun psikis untuk menentukan Akomodasi yang Layak”. Penilaian Personal dibentuk berdasarkan permintaan oleh Penegak Hukum kepada dokter, psikolog, psikiater, atau tenaga kesehatan lainnya dan akan menjadi dasar penegak hukum untuk mengakomodasi hambatan dan tantangan khusus yang dimiliki oleh difabel. Penilaian Personal tersebut menjadi dasar dari kewajiban penegak hukum untuk menyediakan Akomodasi yang Layak yang sesuai dengan hambatan dan tantangan difabel termasuk pemberian pendamping, penerjemah, atau petugas lain (seperti pendamping yang disediakan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) serta sarana dan prasarana tertentu.
Selain itu, Penilaian Personal memiliki kemampuan untuk menjamin kualitas keterangan saksi dan hal tersebut dapat memperkuat keterangan saksi oleh difabel. Pasal 25 Undang-Undang 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, kekuatan hukum keterangan saksi difabel adalah sama dengan keterangan yang diberikan oleh individu yang bukan difabel, dengan persyaratan terdapat Penilaian Personal yang mendukung kemampuan penyandang disabilitas untuk memberikan keterangan.
Urgensi Pembentukan Standar Pemeriksaan Penyandang Disabilitas
Walaupun dalam PP 39/2020 terdapat ketentuan lebih lanjut mengenai Akomodasi yang Layak, terdapat kewajiban bagi penegak hukum untuk membentu standar pemeriksaan untuk diberlakukan di institusinya, misalnya dalam bentuk panduan atau Standard Operation Procedure (SOP). Standar pemeriksaan setidaknya harus memuat kualifikasi penegak hukum yang menangani perkara yang melibatkan difabel, fasilitas bangunan gedung, fasilitas pelayanan dan prosedur pemeriksaan.
Pembentukan standar pemeriksaan di tingkat instansi penegak hukum ditujukan untuk memberikan kepastian kepada masyarakat mengenai haknya namun juga memberikan keleluasaan kepada penegak hukum untuk menentukan Akomodasi yang Layak berdasarkan permasalahan yang dihadapi dan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing institusi. Namun, agar standar pemeriksaan dibentuk secara tepat guna, PP 39/2020 mewajibkan pelibatan organisasi yang bergerak dalam advokasi isu disabilitas dalam pembuatan standar pemeriksaan.
Walaupun sudah terdapat kewajiban pembuatan standar pemeriksaan, masih banyak penegak hukum yang belum memiliki standar pemeriksaan yang dapat diakses oleh umum. Salah satu badan yang sudah membuat standar pemeriksaan adalah Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri, melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 1692/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Pelayanan bagi Penyandang Disabilitas di Pnegadilan Tinggi dan Pengadilan. Ketentuan dalam peraturan tersebut bersifat teknis seperti formular untuk pembuatan Penilaian Personal, kewajiban pendanaan pelayanan disabilitas, aristektur infrastruktur agar dapat digunakan penyandang disabilitas (eg. ramp, rambu, tangga, dan guiding block), dan pembuatan Memorandum of Understanding (MoU) dengan ahli untuk pembuatan Penilaian Personal.
Berdasarkan literatur, masih ada penegak hukum yang belum memiliki standar pemeriksaan. Contohnya, Kepolisian Republik Indonesia belum mengeluarkan peraturan yang berhubungan dengan pembuatan standar pemeriksaan sebagaimana diwajibkan oleh PP 39/2020. Devi dan Prasetio (2022) dan Sudaryanto et al (2023) menemukan bahwa terdapat Polres yang belum memiliki standar pemeriksaan, namun berupaya memberikan akomodasi yang layak seperti menerima sosialisasi mengenai akomodasi yang layak dari organisasi penyandang disabilitas dan mendirikan kanal komunikasi dengan organisasi penyandang disabilitas untuk penyediaan pendamping dan penerjemah. Tidak adanya standar pemeriksaan di tingkat nasional memaksa
instansi untuk melakukan invoasi tersendiri dan pada saat yang bersamaan, menyebabkan kesenjangan dalam penyediaan Akomodasi yang Layak, padahal Akomodasi yang Layak merupakan hak seluruh penyandang disabilitas. Tidak terpenuhinya Akomodasi yang Layak dapat mempengaruhi penyandang disabilitas dalam melakukan perannya sebagai saksi.
Penutup
Penyandang Disabilitas atau difabel memiliki hak yang setara untuk menjadi saksi dalam suatu perkara. Namun karena memiliki hambatan dan tantangan tertentu, difabel memiliki hak untuk mendapatkan Akomodasi yang Layak dan penegak hukum berkewajiban melakukan pemenuhan terhadap hak tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pemenuhan kewajiban tersebut dapat dimulai dengan pembentukan standar pemeriksaan yang dapat diakses oleh publik agar masyarakat, khususnya difabel dapat memahami haknya. Pembentukan standar pemeriksaan dapat menjadi awal mula dari evaluasi institusional untuk menjadi instansi yang inklusif dan pada saat yang bersamaan, pembentukan standar pemeriksaan dapat menjadi kesempatan untuk berkolaborasi dengan pemangku kepentingan termasuk organisasi penyandang disabilitas. Tentunya sebelum standar pemeriksaan tersebut dibentuk, penegak hukum wajib melakukan invoasi dan kolaborasi untuk memenuhi hak penyandang disabilitas.
Walaupun demikian, keberadaan hukum harus diikuti dengan kesadaran dan kepatuhan pada hukum. Dalam kasus-kasus yang ada, permasalah yang ditemui ada pada penegakannya yang masih sarat akan bias dan kurangnya kesadaran hak difabel sebagai saksi walaupun hukum telah menjamin hak penyandang disabiltias. Oleh karena itu, adanya hukum yang komprehensif merupakan aspek yang fundamental, namun bukan akhir dari advokasi hak- hak disabilitas. Dalam hal ini, pengawasan, pendampingan, dan penyelesaian permasalahan terhadap pemenuhan, pelindungan, dan penghormatan hak penynandang disabilitas menjadi tanggunjawab bukan hanya untuk organisasi penyandang disabilitas, namun juga seluruh lapisan masyarakat.[]
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Jurnal, dan Laporan
- Devi, R. P. C., & Prasetio, I. L. I. (2022). Implementasi Akomodasi Yang Layak Bagi Penyandang Disabilitas Proses Penyidikan di Kepolisian Kabupaten Sleman. Jurnal Hukum & Pembangunan, 52(2), 499-514.
- Hiariej, E. S. (2012). Teori dan Hukum Pembuktian. Erlangga. Jakarta
- Powers, R. A., & Hayes, B. E. (2022). Victim and third-party reporting of violent victimization to the police in incidents involving victims with disabilities. Journal of Research in Crime and Delinquency, 00224278221131493.
- Prabawati. (2023). “Terdapat 987 Laporan Kekerasan Yang Dialami Penyandang Disabilitas Tahun 2022”. Dikominfo Kaltim melalui https://diskominfo.kaltimprov.go.id/pemerintahan/terdapat-987-laporan-kekerasan-yang- dialami-penyandang-disabilitas-tahun-2022
- Rahmawati, A. A. (2023). “SUARA SETARA: Pelaku Kekerasan Seksual pada Warga Difabel kerap Lolos, karena Kesaksian yang Kurang Valid atau Sistem Hukumnya tidak Inklusif?” BandungBergerak.id melalui https://bandungbergerak.id/article/detail/15577/suara-setara- pelaku-kekerasan-seksual-pada-warga-difabel-kerap-lolos-karena-kesaksian-yang-kurang-
- valid-atau-sistem-hukumnya-tidak-inklusif
- Sudaryanto, A., Basri, B., & Krisnan, J. (2023). Permasalahan Penyidikan Terhadap Subjek Hukum Penyandang Disabilitas Sebagai Korban Tindak Pidana. Borobudur Law and Society Journal, 2(4), 168-175.
- Werluka, L. (2019). Alat Bukti Yang Sah Dalam Pembuktian Menurutundang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Jurnal Belo, 4(2), 228-248.
Peraturan Perundang-Undangan
- Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on The Rights of Persons with Disabilities)
- Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHP)
- Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas
- Undang Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
- Undang Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
- Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi Yang Layak Untuk Penyandang Disabilitas dalam Porses Peradilan
- Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 1692/DJU/SK/PS.00/12/2020
Penulis: Jorgiana Augustine dan Muhammad Ryandaru Danisworo
Editor : Ajiwan Arief
Footnotes:
_______