Views: 41
Solidernews.com, Yogyakarta. BUKU antologi cerpen karya 44 cerpenis berjudul Cerita dari Museum, diluncurkan pada Sabtu (26/10/2024), di Museum Sandi Yogyakarta. Peluncuran tersebut bertepatan dengan selebrasi hari jadi ke-13 Sastra Bulan Purnama (SBP).
Para cerpenis tersebut di antaranya: Akbar Ariantono Putra (tottaly blind), Adri Darmaji Woko, Ana Ratri, Ardini Pangastuti, Ari Basuki, Bambang Widiatmoko, Christina Sri Purwanti, Cicit Kaswami, Gunoto Saparie, Isbedy Stiawan ZS, Kris Budiman, Kurnia Effendi, Kurniawan Junaedhie, Mustofa W Hasyim, Nia Samsihono, Ninuk Retno Raras, Ons Untoro, R Toto Sugiarto, Sus S Harjono, Susy Ayu, Sutirman Eka Ardhana, Yonas Suharyono, dan Yuliani Kumudaswari.
Sastra Bulan Purnama, adalah agenda pembacaan puisi bulanan. Sedari awal penyelenggaraan (2011), rutin dihelat di Museum Rumah Budaya Tembi. Diinisasi dan dimotori oleh sastrawan Ons Untoro. Lalu pada saat pandemi digelar secara daring (online). Dan pasca pandemi, penyelenggaraan tak lagi menetap di satu tempat. Sesuai dengan namanya, program ini diselenggarakan tiap bulan purnama. Yaitu tiap tanggal 14 atau 15 dalam kalender lunar. Edisi pertama diselenggarakan pada 12 Oktober 2011
Pembacaan cerpen menjadi bagian dari agenda peluncuran. Disutradarai Ana Ratri Wahyuni, dua orang seniman panggung, Yantoro dan Tedjo Badut membacakan cerpen karya Ari Basuki. Berikutnya ada: Isbedy Stiawan (Lampung), Sri Yanti Sastro Prayitno (Semarang), Sus S Hardjono (Sragen), Menik Sithik (Yogya).
Membaur dalam kegiatan tersebut seorang pria difabel netra (tottaly blind), bernama Akbar Ariantono Putra. Mahasiswa semster V UIN Sunan Kalijaga ini, melebur dalam pelukan Sastra Bulan Purnama. Kali itu dia membacakan cerpen karyanya sendiri yang berjudul Sebuah Dakon.
Terbuka dan menyenangkan
Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial itu, sudah bergabung dengan Sastra Bulan Purnama dalam beberapa bulan terakhir. Akbar mengaku, para sastrawan di Sastra Bulan Purnama terbuka bagi siapa saja, termasuk dirinya yang tottaly blind. Yang disayangkannya, belum adanya volunteer bagi difabel yang bergabung.
“Sastra Bulan Purnama itu terbuka dan menyenangkan. Orang-orangnya ramah dan respek dengan difabel. Sayangnya tidak ada volunter. Sebenarnya, kami bisa sendiri. Tapi ketika dihadapkan dengan pengambilan makanan, mencari tempat duduk, maju ke depan, ini tak mudah. Untuk itu kami ini harus bergantung dengan orang lain. Namun saya berhasil mendapat kenalan baru yang bisa membantu,” ujar Akbar.
Dia mengaku senang, karena karya cerpennya bisa menjadi bagian dari buku antologi yang diluncurkan. Menjadi momentum dalam perayaan 13 tahun SBP. Meski begitu, dia mengatakan akan belajar lebih baik lagi sebagai bagian Sastra Bulan Purnama. Sehingga karya sastra (puisi, cerpen), dapat diapresiasi dengan baik pula.
Akbar juga mengatakan bahwa dirinya juga tergabung dalam komunitas sastra Tukar Akar. Komunitas yang baru berjalan satu tahun dan digawangi anak-anak muda. Tiga bulan bergabung, beberapa karya puisinya mendapat apresiasi. Dua di antaranya: Merdeka tapi Berbeda dan Bagaskara Kemerdekaan.
Jembatan menyalurkan ide
Bagi Akbar, literasi dan sastra, menjembatani difabel menyalurkan ide atau gagasan. Menyampaikan keresahan, kritik atau apa saja. “Sastra ini, bagaimana pun dapat dipelajari teman-temman difabel netra. Karena sifatnya lebih ke suara, keterampilan kognitif dan tangan atau perabaan. Apakan bentuknya braille atau tulisan. Sastra ini 100 persen dapat dijangkau oleh teman difabel. Saya optimis, pada masa mendatang, akan lebih banyak teman difabel yang menekuni bidang ini.
Kepada solidernews.com, Akabr berkisah. Bahwa selain kuliah, dia juga mengisi waktunya sebagai tenaga paruh waktu (partime) di perpustakaan kampusnya, pada layanan difable corner. Aktivitas sampingan tersebut dijalaninya sejak Maret 2024, dan akan berakhir pada Desember mendatang.
Tanggung jawabnya ialah menerima dan menjelaskan kepada para pengunjung difabel corner. Apakah mereka berasal dari kampus lain, mahasiswa UIN sendiri atau instansi. Dia juga melakukan alih media, dari buku fisik ke format digital. Sehingga buku-buku fisik dapat diakses oleh teman-temannya, difabel netra.
Akbar tergolong sosok yang aktif. Tak hanya di dalam kampus, tapi juga di luar kampus. Kini tengah aktif beriorganisasi bersama Ikatan Mahasiswa Muhamadiyah. Saat ini statusnya sebagai kader dan hendak masuk di dalam kepengurusan setingkat fakultas (komisariat).
Bagi Akbar, selagi masih bisa berbuat, maka dia akan melakukan yang terbaik yang dia bisa. Dirinya yang tidak bisa melihat, bukan hambatan baginya untuk bergelut dengan berbagai aktivitas.[]
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan