Views: 8
Solidernews.com – Asosiasi Kesehatan Remaja Indonesia (AKAR) resmi memulai rangkaian proyek penyusunan modul pelayanan kesehatan ramah remaja dengan menyelenggarakan pembekalan pada Jumat, 20 Juni 2025. Kegiatan ini diikuti oleh perwakilan pemuda dari berbagai daerah dan panel ahli dari lintas sektor.
Isu difabel menjadi perhatian utama. Selama ini, banyak materi edukasi dan pelatihan kesehatan remaja yang secara bentuk ataupun isi belum mampu menjangkau kelompok difabel secara utuh. Bukan hanya karena hambatan teknis seperti ketiadaan format alternatif (braille, audio, bahasa isyarat, dll.), tapi juga karena absennya pengalaman remaja difabel dalam proses perumusan kebijakan dan layanan.
Dr. Diandra dari AKAR Indonesia menekankan pentingnya sesi ini sebagai fondasi untuk modul yang tidak hanya ramah pengguna, tetapi juga berpihak pada kelompok yang kerap terpinggirkan.
“Kan tidak menutup kemungkinan nantinya akan ada tenaga kesehatan yang juga adalah difabel dan memerlukan aksesibilitas khusus dalam mengakses modul yang kita buat, makanya sesi ini menjadi penting. Selain itu juga dapat mengkampanyekan inklusi difabel ke para nakes yang nanti akan menjadi peserta,” ujarnya.
Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2023, terdapat lebih dari 22 juta penduduk Indonesia yang difabel, termasuk di dalamnya jutaan remaja dengan berbagai ragam kebutuhan. Mereka menghadapi tantangan berlapis: mulai dari diskriminasi sosial, keterbatasan akses pendidikan, hingga layanan kesehatan yang tidak sensitif terhadap kebutuhan yang beragam.
Kerentanan remaja difabel bukan hanya terletak pada aspek fisik atau sensorik semata, tetapi juga pada aspek sosial dan struktural. Dalam banyak kasus, remaja difabel dihadapkan pada stigma ganda—sebagai remaja dan sebagai difabel yang membuat suara mereka nyaris tidak didengar dalam proses pembangunan kebijakan publik, termasuk di sektor kesehatan.
Hal ini ditegaskan oleh Nur Syarif Ramadhan dari Yayasan PerDIK, yang hadir sebagai salah satu narasumber dalam pembekalan tersebut. Ia menggarisbawahi bahwa substansi modul harus turut mencerminkan pengalaman hidup remaja difabel agar tidak sekadar menjadi dokumen formal.
“Banyak sekali konten yang bukan hanya tidak aksesibel bagi difabel, tetapi juga tidak mempertimbangkan pengalaman difabel. Muatan modul nanti misalnya, jika melibatkan anak muda atau expert panel yang adalah difabel, itu akan membuat aspirasi remaja difabel juga hadir di dalam modul itu. Bagaimana mereka ingin dan harus diperlakukan oleh nakes, misalnya, dan banyak lainnya,” jelasnya.
AKAR menyatakan komitmen mereka untuk menjadikan hasil pembekalan ini sebagai acuan utama dalam drafting modul yang dijadwalkan rampung pada akhir tahun 2025. Modul ini, nantinya akan digunakan untuk pelatihan tenaga kesehatan yang bekerja dengan remaja di berbagai layanan primer.
Dengan melibatkan aktor muda, komunitas difabel, serta pakar lintas sektor sejak tahap awal, AKAR berharap modul ini tidak hanya menjadi alat bantu teknis, melainkan juga pijakan transformasi layanan kesehatan remaja yang lebih adil, akomodatif, dan berbasis hak. Sejalan dengan upaya nasional mendorong layanan kesehatan yang inklusif dan tidak meninggalkan siapa pun, sebagaimana diamanatkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan dalam kerangka Sustainable Development Goals (SDGs).[]
Reporter: Nabila May
Editor : Ajiwan