Views: 2
Solidernews.com- Redaksi Solidernews mencatat ada beberapa kasus kekerasan yang menimpa perempuan pekerja rumah tangga yang mengakibatkan disabilitas. Hal ini terpublikasi dalam beberapa pemberitaan. Di antaranya pernah ditulis oleh tribunnews.com pada Juni 2023: SK (23) tahun yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) asal Pemalang kerap mendapatkan penyiksaan dari tiga “majikan” atau pemberi kerja yakni Metty Kapantow (70), So Kasander (73) dan Jane Sander (32).
Akibat penyiksaan tersebut SK mengalami luka-luka di sekujur tubuh, termasuk di kepalanya dan temuan dokter ada patah tulang di kepala. Selain itu, ada luka lebam pada kedua mata SK serta bagian atas, payudara, leher, perut, tangan kanan dan kiri, panggul serta pergelangan kaki yang sudah mengalami infeksi. Dokter bedah pun sampai menangani operasinya karena jika tidak dioperasi, infeksinya bisa sampai tulang.
Kekerasan terhadap perempuan pekerja rumah tangga juga terjadi pada RNA pada November 2022 lalu. Selain menerima kekerasan secara fisik ia juga mangalami pelecehan seksual oleh pelaku R. Akibat kekerasan yang dialaminya, RNA mengalami gangguan pendengaran di bagian kiri telinga sehingga kehilangan fungsi pendengaran.
Selain itu bagian kepalanya juga kerap mendapat pukulan dari AA, istri R. Perempuan asal Cianjur ini kerap disiksa karena dianggap tidak becus mengurus anak-anaknya. Pernah selama empat bulan ia tidak digaji dan ia dipulangkan dengan hanya dibekali uang Rp. 2.716.000 saja padahal selama 6 bulan bekerja di sana.
Dua kasus di atas hanya contoh banyaknya kasus yang selama ini ada.
Tercatat dalam kurun waktu 2017-2022 Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mendata ada sekitar 3.635 kasus berbagai kekerasan yang berakibat fatal terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT) , 2.031 kekerasan fisik dan psikis, serta 1.609 kasus kekerasan ekonomi.
Sementara itu sudah 20 tahun lebih para perempuan pekerja rumah tangga berjuang agar mendapatkan perlindungan dari negara dengan penerbitan kebijakan. Namun segala upaya yang sudah dilakukan tersebut tidak membuahkan hasil. Sudah terhitung lebih dari 200 hari, bahkan hingga tulisan ini dibuat, para pekerja rumah tangga masih melakukan aksi demo di depan gedung DPR, ternyata para wakil rakyat tetap tidak memiliki kepedulian.
Dian Septi Trisnanti, dari Marsinah.id, yang juga Ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBI) kemudian memiliki upaya mengumpulkan aktivis atau pegiat isu pekerja rumah tangga yang tersebar di seluruh Indonesia dan di luar negeri untuk melakukan konferensi pers. Dian kemudian memoderatori acara yang digelar pada Senin (22/7) bersama Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) tersebut dengan tujuan mendorong DPR RI segera mensahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) menjadi UU PPRT.
Konferensi pers bertema “Puan Menyandera Sarinah, Sahkan RUU PPRT” salah satunya menghadirkan Rara Ayu dari LBH Apik Semarang. Rara Ayu berbagi kisah pengalaman LBH Apik Semarang yang selama ini mendampingi kasus masih saja mendapat laporan kekerasan terhadap PRT. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialami oleh PRT tersebut berupa kekerasan seksual, psikis, bahkan ada yang lumpuh sampai meninggal dunia.
Rara berharap kasus-kasus kekerasan pada PRT tidak ada lagi dan segera hadirkan UU PPRT.
Ika Agustina dari Kalyana Mitra menuturkan poin penting yang sudah banyak disampaikan oleh perwakilan kelompok masyarakat sipil mengerucut pada urgensi pengesahan yang hingga hari ini masih butuh tantangan bahkan untuk diakui sebagai pekerja pun, mereka belum diakui.
Padahal menurut Ika, jika tidak didukung PRT, maka para pemberi kerja tidak dapat bekerja. Beberapa pertimbangan jika tidak bisa bekerja, maka kalau anggota DPR juga terhambat aktivitasnya oleh karena ketiadaan PRT maka ia tidak bisa menjalankan pekerjaan dengan baik. Banyak PRT yang bekerja pada rumah tangga, itu menggambarkan bahwa begitu banyak perawatan keluarga.
Kehadiran dan peran PRT dibutuhkan kontribusinya untuk negara. Karena tidak adanya undang-undang maka berpotensi berulangnya kekerasan.
Sebenarnya terbitnya RUU PPRT agar segera disahkan jadi undang-undang sudah didorong oleh komisi CEDAW di tahun 2021 kepada pemerintah Indonesia.
Pada akhir sesi konferensi pers, Dian Trisnanti membacakan tuntutan dan rilis jaringan masyarakat sipil untuk keadilan gender berkaitan beragam persoalan yang disampaikan disampaikan bahwa :
- Mendesak ketua DPR RI untuk tidak menahan RUU PPRT untuk segera mensahkan RUU tersebut.
- Mengajak semua jaringan masyarakat sipil dan untuk mendorong aksi pada 15 Agustus 2024.[]
Reporter: Puji Astuti
Editor : Ajiwan