Views: 56
Solidernews.com, Gunungkidul –
Diam dan pemalu adalah tampilan awalnya, tapi ceroboh dan ngeyel adalah pengakuan yang menggambarkan dirinya. Putih bersih kulitnya, dengan rambut panjang dan senyum ramahnya, kita akan lebih mudah mengenalinya. Dialah Adi Fajrianto.
Pemuda kelahiran Jakarta, 23 tahun lalu yang dalam keseharian tinggal di Perbutan Rt 07 Rw 06, Desa Katongan, Kecamatan Nglipar, Kabupaten Gunungkidul, mencoba menggambarkan dirinya dengan gamblang.
“Seperti itulah Ibu saya menggambarkan diri saya. Ceroboh. Hingga menjaga kondisi diri sendiri saja saya tidak bisa sampai harus mengalami kecelakaan dan berakibat seperti sekarang.” Adi membuka obrolan.
Sebagaimana aktifnya anak muda jaman sekarang, Adi merasa kecelakaan yang membuatnya mengalami paraplegia telah membuka mata hatinya, hingga dia berusaha ingin bisa kembali beraktivitas seperti teman-teman lain sebayanya.
“Sebelum kecelakaan, saya sudah suka bersosialisasi dan berkumpul dengan mereka yang usianya lebih dewasa. Sehingga setelah kecelakaan semangat dan motivasi mereka memacu saya agar bisa berkegiatan seperti semula.” Ujarnya.
Di usia yang benar-benar masih belia, 15 tahun saat itu, dia harus kehilangan masa remajanya. Namun semangat dari teman dan keluarganya membuat dia bertahan dan mampu mandiri melalui kerajinan tangannya. Menjahit menjadi andalan sebagai lahan pekerjaannya, sambil sesekali dia menerima orderan menjahit dari BRTPD Pundong dengan membuat tas, celemek dan taplak meja.
Mengingat dari tahun 2015 hingga 2019 semua aktivitas harian Adi masih harus bergantung pada Budhe dan keluarga. Maka menjadi tekadnya untuk bisa mandiri dan berusaha. Tak menyia-nyiakan kesempatan, begitu ada tawaran mengikuti pelatihan dan tinggal di Pundong, ia langsung setuju begitu saja.
“Pada waktu itu saya benar-benar tidak tau BRTPD Pundong itu seperti apa dan bagaimana. Saat pihak BRTPD Pundong melakukan kunjungan ke rumah saya, yang menjadi tekad dan tujuan saya hanya satu, keluar dari rumah Budhe yang selama ini telah menghabiskan waktu untuk merawat saya sementara Ibu harus merantau untuk menghidupi keseharian kami berdua karena Bapak meninggal saat saya kelas lima.” Begitu Adi berujar tentang awal mula bagaimana dia begitu ingin mandiri dan bertanggung jawab pada diri sendiri.
“Di Pundong, saya bertemu dengan teman-teman yang mengalami beraneka difabilitas. Dari mereka saya mencoba belajar berproses. Diajari kemampuan dasar untuk bisa hidup mandiri, saya mulai bisa menyadari banyak teman-teman yang kondisinya lebih parah dari saya tapi semangatnya sangat kuat luar biasa.” Lanjutnya kemudian.
“Kalau ketemu teman-teman sebaya, saya masih merasa menjadi orang yang gagal. Apa saya yang kurang bersyukur atau bagaimana, saat itu saya merasa harus mulai merubah mindset saya.” Adi berkisah sambil mengenang masa-masa sulit yang sempat dialaminya dan sempat mempertanyakan apakah itu logis atau tidak.
Aktif di Forum Disabilitas Tangguh Bencana, pemuda yang suka membuang penat dengan hobi bermusik ini juga berusaha menjadi content creator. Apa yang ia jadikan bahan content adalah aktivitas yang ia lakukan sehari-hari supaya masyarakat tahu bahwa difabel sepertinya juga bisa melakukan kegiatan sebagaimana nondifabel lainnya. Hal ini mengingat setiap harinya Adi hidup di rumah sendiri. Sang Ibu merantau, tentu saja dengan begitu dia melakukan semua kegiatan untuk dirinya sendiri. Mulai masak, mencuci, setrika hingga beberes rumah semua ia lakukan sendiri. Belum lagi pekerjaan menjahit yang menuntut ketekunan dan ketelitiannya juga butuh waktu untuk menyelesaikan sebelum dikejar konsumennya.
Sekedar membantu, Adi tak pernah mematok harga untuk jahitannya. Bahkan menggratiskan jahitan yang tidak memerlukan banyak kerumitan.
“Karena mematok harga malah mematikan ekspektasi saya.” Jelas Adi yang sudah terbiasa menghabiskan waktu di Bantul yang serba murah dan harus melanjutkan hidup di Gunungkidul.
Yang membuat Adi lebih percaya diri dengan pekerjaannya adalah karena tidak semua penjahit melakukan kerja sendiri.
“Dari mengukur, membuat pola, memotong hingga menjahit saya melakukannya sendiri.” Lanjut Adi yang ingin menyampaikan bahwa dengan kondisi difabelnya teman-teman difabel lain juga bisa melakukan pekerjaan mereka secara mandiri.
Ingin hidup lebih mandiri, Adi masih merasa belum berhasil karena ada beberapa hal yang belum bisa dicapainya.
Salah satunya ingin meringankan beban sang Ibu yang masih harus merantau untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Maka masih menjadi impiannya memiliki harapan ingin memberdayakan teman-teman difabel yang memiliki keterampilan menjahit. Kebetulan di wilayah tempat tinggalnya juga belum ada yang membuka jasa menjahit.
Menggunakan mesin high speed, dengan memindahkan beberapa komponen Adi menjahit menggunakan satu tangan, sementara tangan yang satunya menggerakkan kendali mesin.
“Yang penting urip iku urub, dalam arti hidup bisa bermanfaat bagi banyak orang. Karena bagi saya hidup harus punya peran. Dan bersyukur saya mempunyai peran di masyarakat sekalipun hanya sebagai penjahit.” Tutur Adi menutup obrolan.[]
Reporter: Riyanti
Editor : Ajiwan