Views: 10
Solidernews.com – Kemajuan teknologi memberi dampak signifikan pada kemampuan difabel netra. Hadirnya aplikasi berbasis Artificial Intelligence (AI) mengisi celah-celah hambatan yang selama ini dihadapi. Mengenali uang, misalnya. Difabel netra tak bisa sepenuhnya bergantung pada penanda garis timbul di ujung lembaran rupiah, yang sengaja diciptakan untuk memudahkan difabel netra mengidentifikasi nominal uang. Untuk alasan-alasan insidental seperti uang yang lecek atau basah, garis timbul tersebut tidak lagi dapat dikenali oleh indra peraba. Adanya aplikasi cash reader, sebagai salah satu produk kemajuan teknologi, telah menghilangkan hambatan dalam mengenali nominal rupiah yang dulunya kerap terjadi.
Dunia teknologi juga dianggap strategis bagi para difabel netra. Seperti yang dikatakan Putra (difabel netra pengguna internet) pada wawancara yang dilakukan oleh Solidernews (11/01/2025), “kalau sesuatu yang langsung atau offline kan kita harus berhadapan dengan jalan yang tidak aman, anak-anak tangga, transportasi yang mahal dan lain sebagainya. Dalam dunia teknologi itu kita bisa keluar dari segala ketidakaksesan. Misal saya main Instagram. Orang-orang tidak akan tahu saya difabel netra dan sebaliknya, saya tidak akan mendapat kesulitan. Apa yang orang awas bisa lakukan, bisa saya lakukan juga dengan bebas. Kalau aplikasinya aksesibel, ya. Itu pun kalau tidak aksesibel, kita bisa komplain. Perbaikan bisa terjadi tanpa tunggu anggaran. Atau juga kita bisa upayakan sendiri, misalnya memberi label mandiri pada tombol-tombol yang tidak berlabel.”
Kesadaran atas besarnya dampak teknologi terhadap kemandirian difabel netra itulah yang mungkin mendorong Dewan Pengurus Pusat (DPP) Pertuni untuk mengangkat tema “Tunanetra Bertaji Dengan Teknologi” pada salah satu rangkaian acara hari ulang tahun Pertuni, yang diadakan pada 12 Januari 2025. Menghadirkan Muhammad Gagah, Rexya Muhammad, dan Putri Rohmayani, seorang difabel netra yang berkecimpung dalam dunia teknologi, Pertuni berharap pengarusutamaan pengetahuan terkait teknologi pada difabel netra harus dilakukan mulai dari sekarang.
Acara tersebut berlangsung dengan meriah dan hangat. Terpantau, 120 peserta dalam aplikasi Zoom mengikuti jalannya webinar dengan seksama.
Walaupun skill teknologi sangat dibutuhkan oleh penyedia lapangan pekerjaan dan terbukti dapat digeluti oleh difabel netra, sampai sekarang, terbilang belum banyak difabel netra yang ahli dalam bidang ini. Pelatihan-pelatihan yang disediakan oleh pemerintah pun hanya menawarkan pemberian keahlian mengoperasikan komputer dasar seperti Word, PowerPoint, dan Excel.
“Paling banter ya cuma cara mengoperasikan Google Docs, Google Form, dan semacamnya. Gak ada yang sampai menyentuh pengetahuan menengah seperti programming sederhana,” ucap Rani (alumni pelatihan TIK untuk disabilitas yang diadakan oleh Kementerian Komunikasi Republik Indonesia tahun 2020).
Mitra Netra, sebuah yayasan yang bergerak dalam pemberdayaan difabel netra dan mitra bagi difabel netra, menjadi salah satu lembaga yang lebih dulu mengambil langkah dalam peningkatan skill teknologi khususnya programming pada difabel netra di Indonesia. Salah satu alumni pelatihan programming yang diadakan oleh Mitra Netra yang telah mengaplikasikan ilmu yang didapatkannya selama pelatihan dalam dunia kerja adalah Putri Rohmayani, yang kemudian dilibatkan dalam webinar DPP Pertuni di awal tahun 2025 tersebut.
Putri, begitu dia akrab disapa, bercerita mengenai pengalamannya sebagai test automation engineer di Bumi Varta Technology. Putri mengaku, dirinya sudah memanfaatkan ilmu coding yang didapatkan dari pelatihan Mitra Netra bahkan sebelum ia menjadi seorang sarjana informatika.
Ceritanya dimulai sejak ia masuk kuliah dan ingin mengakses beasiswa. Mengirim CV kepada relasi yang ia miliki adalah jalan yang Putri tempuh untuk mencoba peruntungan, mencari beasiswa.
“Tapi mungkin karena CV-ku lebih mirip kayak orang yang mau melamar kerja, bukannya dapat beasiswa, aku malah diajak untuk magang dalam proyek. Waktu itu proyek mereka mau buat aplikasi. Aku join di sana kurang lebih satu tahun, dari 2022 sampai 2023. Habis itu baru lanjut di perusahaan yang sekarang,” ujarnya bersemangat.
Putri tidak banyak bercerita tentang apa yang ia lakukan sebagai pegawai di perusahaan tempatnya bekerja atau apa saja skill teknologi yang ia kuasai, tapi Putri sebagai satu-satunya pemateri perempuan setidaknya memberi banyak harapan baik kepada difabel netra perempuan lainnya yang hadir. Melalui cerita tentang bagaimana ia memulai karier sampai dengan bagaimana ia bisa bekerja remote (hanya dari rumah), Putri berhasil memberi gambaran profesi yang aksesibel bagi difabel netra.
Sementara itu, Rexya dan Gagah lebih banyak mengulik mengenai pengalaman mereka mempelajari dunia teknologi. Hambatan tentu saja ada, seperti monopoli aplikasi berbayar, kurangnya pengajar teknologi bagi difabel netra di luar Pulau Jawa, ataupun ketidakaksesan suatu aplikasi. Tapi hambatan-hambatan itulah yang kemudian mendorong mereka berdua untuk mendirikan komunitas online masing-masing dan berusaha memberdayakan difabel netra lainnya di dunia teknologi.
“Selama ini kalau kita belajar di sekolah atau di pelatihan, orientasinya pasti ke Word atau internet. Pengetahuan pembaca layarnya gak ada. Makanya dulu kita sempat bikin kelas NVDA. Karena pengetahuan-pengetahuan yang lebih dalam tidak ada,” ucap Rexya.
Gagah, yang dalam beberapa tahun terakhir aktif dalam dunia teknologi dan juga menggunakan sebagian waktunya untuk mengajari difabel netra sekitar mengenai teknologi mengatakan bahwa ada perbedaan antara mentalitas angkatan terdahulu dan angkatan saat ini dalam mempelajari suatu hal.
“Yang berbeda itu tingkat eksplorasinya. Kalau dulu, kan kita diajarkannya sedikit-sedikit. Cuma kulitnya, kita yang gali lebih dalam. Sekarang adik-adik itu eksplorasinya minim. Kalau dilepas, mereka hilang, gak tahu kelanjutannya harus bagaimana. Jadi memang harus dibimbing terus-terusan,” jelasnya.
Terakhir, para pemateri pun memberi tanggapan terhadap maraknya penggunaan AI di masyarakat. Di mana saat ini, kecerdasan buatan itu telah menjamur dan kemudian mampu melakukan banyak hal yang dulunya hanya mampu dilakukan manusia. Ketakutan semacam manusia akan dikalahkan oleh kecerdasan buatan atau manusia tak mampu bersaing dengan AI itu, takutnya, juga diamini oleh para difabel netra.
“AI itu bisa jadi tempat kita untuk belajar. Dulu kan kalau mau belajar apa, kita kepentok sama aksesibilitas. Misal mau belajar IT, kalau melalui website atau YouTube itu bisa saja tidak aksesibel karena mereka yang mengajarkan adalah orang awas dan mengajarkan sesuai dengan cara orang awas mengoperasikan. Nah, tapi dengan AI, kita bisa meminta AI untuk menjadi instruktur dan spesifik, instruktur untuk pengguna screen reader. Salah satu ketakutan setelah ada AI ini adalah takut pekerjaan kita diambil sama AI. Menurut saya, AI malah harus dijadikan teman. Jadikan teman biar pekerjaan kita lebih mudah, lebih aksesibel. Buat saya sendiri karena saya kerja remote, biasanya saya berdiskusi sama AI untuk pekerjaan-pekerjaan yang agak susah bagi saya,” ucap Putri.
Gagah dan Rexya pun menyambung dengan gagasan yang nyaris serupa. Menurut ketiganya, AI adalah kecerdasan buatan yang tak akan mengalahkan kecerdasan manusia. Melihat teknologi sebagai peluang adalah hal yang harus dilakukan oleh difabel netra yang memiliki ketertarikan dalam dunia IT, bukannya malah melihat teknologi sebagai ancaman.[]
Reporter: Nabila May Sweetha
Editor : Ajiwan