Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Ada Biaya Ekstra dalam Pendidikan, Kesehatan, Transportasi hingga Alat Bantu; Ini Urgensi Pengesahan RPP Konsesi bagi Difabel

Views: 10

Solidernews.com – Kegelisahan-kegelisahan dirasakan oleh teman difabel ketika berbicara mengapa penting terbit Peraturan Pemerintah (PP) Konsesi. Seperti yang diungkapkan oleh Sri Lestari dari HWDI di forum Difabel Lawyer Club, Selasa, 19/11, bahwa saat di organisasinya ada teman-temannya kalau tidak mobilitas  sehingga tidak mendapat informasi, lantas tidak mendapat hak-hak yang lainnya. Banyak pula perempuan-perempuan sebagai tulang punggung keluarga sehingga harus banyak mobilitas untuk mencari penghasilan dan memenuhi hak-hak dasar  sebagai perempuan, sebagai ibu rumah tangga,   karena  ada beban di anak-anak terutama di biaya pendidikan. Mereka tidak bisa hanya bergantung kepada suami.

Perempuan yang biasa dipanggil Tari tersebut berharap agar RPP Konsesi segera disahkan dan tidak terkatung-katung seperti sekarang. Dan ketika bicara dari perspektif perempuan gambarannya harus dari A sampai Z mulai dari sisi kebutuhan mobilitas,  hak pendidikan, pelayanan kesehatan, keluarga dan yang lainnya yang juga sangat terkait dengan perempuan difabel atau biasa disebut  interseksionalitas. Ketika bicara tentang multiple apa yang jadi hambatan-hambatan dan tantangan yang beragam.

 

Muhammad Syamsudin dari SIGAB Indonesia menyoroti para difabel yang tinggal di desa-desa. Bagaimana mereka seharusnya bisa mengakses layanan yang paling dekat dengan tempat tinggal mereka. Tentu akan membantu kehidupannya. Selain masalah Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) termasuk jaminan kesehatan, bantuan  seperti Program Keluarga Harapan (PKH) yang masih banyak belum terakses,  maka adanya konsesi akan dapat untuk melengkapi.

Selain itu, Udin juga menyampaikan bahwa  jangan sampai konsensi menggugurkan bantuan yang sudah ada karena kebutuhan keluarga yang mempunyai difabel itu tantangannya jauh lebih berat, karena salah satu orang tuanya harus berkorban waktu tidak bekerja. Ia menghabiskan waktu untuk menemani difabel itu baik terapi dan sebagainya.  Yang menjadi tantangan, yakni jadi pilihan antara bekerja dan menemani atau memberi hak untuk difabel itu dan tentu biaya lebih besar. Jadi keluarga yang memiliki difabel sangat menanti konsesi ini. “Dan ini yang paling penting adalah bagaimana konsesi itu diterima secara bermartabat karena ini bukan charity” pungkas Syamsudin.

Berbeda kebutuhan dari difabel netra seperti yang diungkapkan Ali Afandi dari ITMI  Yogyakarta bahwa mereka memiliki persoalan dalam mengakses transportasi padahal ini sangatlah penting. Apalagi untuk sekarang transportasi yang disediakan pemerintah menurutnya sangat susah misalnya saat  mau mengakses bus Trans harus berjalan sekian  ratus meter misalnya, sehingga otomatis  akan memilih transportasi yang lebih gampang dengan menggunakan ojek online. Kondisi ini menurut Ali  sangat penting untuk teman-teman netra karena hampir setiap hari mereka menggunakan sarana transportasi itu untuk mengakses ke layanan kesehatan, layanan pendidikan dan untuk bekerja.

Hal itu dibenarkan oleh Prof. Ro’fah yang memoderatori diskusi bahwa ia baru saja mendapatkan informasi salah satu mahasiswanya sedang KKN tapi terhambat tidak bisa melanjutkan karena biaya transportasi yang cukup tinggi. Mahasiswa itu KKN di tempat yang tidak ada sarana transportasi publik yakni Trans Jogja yang tidak sampai ke lokasi KKN. Padahal dia harus pulang pergi setiap hari sehingga dua kali menggunakan ojol dan ini tentu saja biayanya cukup tinggi.

Nur Syarif Ramadhan dari Formasi Disabilitas dan tinggal di Makassar mengungkapkan kata kunci dari kata konsesi ini adalah adanya extra cost,  pengeluaran tambahan yang difabel keluarkan dalam beraktivitas sehari-hari sehingga kemudian memerlukan dukungan dari negara untuk meringankan beban itu. Contoh diberikan oleh teman-temannya di FORMASI yang ada di 30 provinsi,  informasi menyebutkan bahwa ada begitu  banyak aspek dimana difabel itu memang mengeluarkan atau membutuhkan biaya tambahan dalam beraktivitas sehari-hari. Paling sering ia mendengar adalah terkait dengan alat bantu misalnya ketika difabel yang tinggal di Sulawesi, Kalimantan, Sumatera misalnya ingin memperoleh alat bantu disabilitas dalam kehidupan mereka sehari-hari itu belum tersedia di tempat mereka. Sehingga mereka harus mengeluarkan biaya tambahan misalnya untuk membawa kursi rodanya ke pulau Jawa demi perbaikan ataupun alat-alat bantu yang lain atau misalnya alat bantu untuk ragam difabel yang lain misalnya bagi dirinya yang membutuhkan pembaca layar, di mana ketika ingin membelinya itu juga biayanya sangat mahal sehingga itu yang  melatarbelakangi kenapa Syarif dan kawan-kawannya berharap ada dukungan terkait dengan konsesi itu.

Beberapa ragam difabel tertentu ketika harus bepergian butuh pendamping  jadi  harus membiayai dua orang. Maka dari itu diperlukan konsesi atau diskon atau potongan harga. Sehingga urgen bagi warga difabel untuk memastikan bahwa konsesi ini nanti disahkan menjadi rancangan menjadi Peraturan Pemerintah.

Ranie Ayu Hapsari dari YAKKUM menyoroti masalah akses pendidikan sebab banyak difabel yang hanya lulus sekolah dasar karena mereka tidak mampu untuk membayar pendidikan di atasnya. Ini soal biaya yang sebetulnya selama ini tidak bisa dijangkau bahkan mereka tidak bisa  menikmati pendidikan yang setara maka  tidak bisa mendapatkan  pekerjaan yang berkualitas, tidak bisa mendapatkan income yang juga cukup baik untuk memenuhi kesejahteraan hidupnya dan dia tidak bisa berpartisipasi di dalam masyarakat. Nah, oleh karena itu pihaknya selalu mendesak bahwa kalau ini memang tanggung jawab dan komitmen dari negara maka nilai nominal  minimum 20% konsesi ini seharusnya dipenuhi.

Dwi Rahayu  Febuarti dari Gerkatin menyoroti tidak tersedianya Juru Bahasa Isyarat (JBI) untuk pemenuhan kebutuhannya. Karena tidak semua institusi/lembaga menyediakannya. Meski belum termaktub dalam draft terakhir RPP (Oktober) karena hanya menyinggung alat bantu dengar saja, namun pernyataan Dwi menjadi pertimbangan untuk memasukkan kebutuhan JBI pula.

 

Reny Indrawati dari Wahana Keluarga Cerebral Palsy (WKCP)  menyatakan bahwa RPP Konsesi ini akan sangat membantu untuk keluarga yang punya anak-anak difabel dan anak-anak cerebral palsy karena banyak sekali yang membutuhkan asupan gizi lebih, padahal biayanya lebih.  Mereka juga membutuhkan pampers, diapers yang biayanya  mahal. Belum lagi yang mengalami tambahan sakit yang lain misalnya luka decubitus.

Kemudian kalau di pendidikan sudah pasti  menyuarakan sekolah inklusi tetapi biasanya begitu masuk sebentar, setelah itu diusir perlahan-lahan. Otomatis kemudian mereka beralih ke swasta dan biayanya mahal serta  tambah guru pendamping. Tambah biaya lagi.

Prof. Ro’fah, moderator menyampaikan bahwa  RPP konsesi berbicara 20% potongan harga yang mungkin bagi keluarga cerebral  palsy dan juga keluarga autis serta yang lain dengan kondisi tertentu, sebenarnya 20% itu sama sekali belum mengcover. “Harusnya 100% atau 200% Kalau tidak salah saya tahun 2015 melakukan penelitian wawancarai beberapa keluarga Cerebral Palsy itu angkanya bisa sampai 34 juta untuk additional cost yang harus dikeluarkan keluarga. Jadi kalau kemarin kita bicara tentang 300.000 atau 20% itu sebenarnya masih sangat jauh tapi itu pun tidak apa-apa”. terangnya.[]

 

Reporter: Astuti

Editor     : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content