Views: 28
Solidernews.com – Suara merdu yang menggetarkan jiwa, memanggil umat untuk beribadah di kala fajar menyingsing. Suara itu milik seorang pria yang tak pernah melihat cahaya matahari, namun mampu menerangi hati ribuan umat dengan keimanannya. Inilah kisah Abdullah bin Ummi Maktum, sahabat Nabi Muhammad SAW yang membuktikan bahwa hambatan fisik bukanlah penghalang untuk meraih kemuliaan.
Di tengah hiruk pikuk Makkah, Abdullah kecil tumbuh dalam kegelapan abadi. Namun, takdir memiliki rencana lain untuknya. Ketika suara dakwah Muhammad SAW mulai terdengar, hati Abdullah seketika tersentuh. Ia memeluk Islam dengan keyakinan yang menggebu, menantang norma sosial dan keluarganya yang masih berpegang pada keyakinan lama.
Perjalanan hijrah ke Madinah menjadi titik balik dalam hidup Abdullah bin Ummi Maktum. Di kota baru ini, ia menemukan lingkungan yang mendukung perkembangan bakat dan potensinya. Madinah, dengan kepemimpinan Rasulullah SAW, menjadi tempat di mana kemampuan seseorang dihargai lebih tinggi daripada kondisi fisiknya. Abdullah, yang selama ini mungkin dipandang sebelah mata karena hambatan penglihatannya, kini mendapat kesempatan untuk membuktikan diri.
Tak lama setelah menetap di Madinah, Abdullah mendapat kepercayaan luar biasa dari Rasulullah SAW. Ia ditugaskan menjadi salah satu muadzin utama, sebuah posisi yang membutuhkan ketepatan waktu dan keindahan suara. Sabda Rasulullah, “Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di malam hari, maka makan dan minumlah sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan,” menunjukkan betapa pentingnya peran Abdullah dalam kehidupan sehari-hari umat Islam Madinah.
Setiap kali fajar menyingsing, suara Abdullah yang merdu menggema di seluruh penjuru kota. Adzannya bukan hanya panggilan untuk shalat, tapi juga menjadi penanda waktu yang krusial bagi umat Islam, terutama selama bulan Ramadhan. Suaranya menjadi tanda bagi mereka yang berpuasa untuk memulai menahan, dan bagi mereka yang sedang melakukan shalat malam untuk mengakhiri ibadah mereka. Ketelitian Abdullah dalam menentukan waktu adzan Subuh sangat diandalkan oleh seluruh penduduk Madinah.
Namun, kontribusi Abdullah tidak terbatas pada perannya sebagai muadzin. Ketika situasi mengharuskan Rasulullah SAW memimpin pasukan dalam berbagai ekspedisi militer, beliau membutuhkan seseorang yang bisa dipercaya untuk memimpin Madinah. Pilihan itu jatuh pada Abdullah bin Ummi Maktum. Sebuah keputusan yang mungkin mengejutkan bagi sebagian orang, mengingat kondisi Abdullah sebagai difabel netra. Namun, Rasulullah melihat jauh melampaui hambatan fisik; beliau melihat kecerdasan, integritas, dan kemampuan kepemimpinan Abdullah.
Bukan hanya sekali atau dua kali, tetapi tercatat dalam sejarah bahwa Abdullah dipercaya hingga 13 kali untuk menggantikan Rasulullah sebagai pemimpin sementara Madinah. Ini bukan tugas yang ringan, mengingat Madinah saat itu adalah pusat pemerintahan Islam yang memerlukan pengelolaan yang bijaksana. Abdullah harus menangani berbagai urusan administratif, mediasi konflik, dan bahkan pengambilan keputusan strategis dalam ketiadaan Rasulullah.
Kepercayaan besar yang diberikan Rasulullah kepada Abdullah ini bukan tanpa alasan. Selain memiliki kecerdasan yang tajam, Abdullah juga dikenal memiliki hafalan Al-Qur’an yang kuat dan pemahaman mendalam tentang ajaran Islam. Kemampuannya dalam menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits membuatnya menjadi guru yang disegani di Madinah. Banyak sahabat, termasuk mereka yang tidak memiliki hambatan fisik, kerap mendatangi Abdullah untuk belajar dan meminta penjelasan tentang berbagai masalah keagamaan.
Kehadiran Abdullah di posisi-posisi penting dalam masyarakat Madinah menjadi bukti nyata bahwa dalam Islam, nilai seseorang tidak diukur dari segi fisik. Yang menjadi tolok ukur adalah ketakwaan, ilmu, dan kontribusi seseorang pada masyarakat. Abdullah membuktikan bahwa dengan tekad yang kuat, dukungan masyarakat yang inklusif, dan kepercayaan dari pemimpin, seorang difabel dapat mencapai prestasi yang setara, bahkan melebihi, mereka yang nondifabel.
Salah satu kisah paling monumental dalam perjalanan hidup Abdullah bin Ummi Maktum adalah peristiwa yang mengakibatkan turunnya Surah ‘Abasa. Kejadian ini bermula ketika suatu hari, Abdullah mendatangi Rasulullah SAW yang sedang sibuk berdakwah kepada para pemuka Quraisy. Karena kesibukannya, Rasulullah tidak langsung menanggapi Abdullah, yang kemudian menyebabkan turunnya teguran dari Allah SWT. Surah ini menjadi pengingat abadi tentang kesetaraan di hadapan Allah dan pentingnya memperhatikan setiap individu, terlepas dari status sosial atau kondisi fisiknya.
Peristiwa ini bukan hanya menegaskan kedudukan mulia Abdullah di mata Allah, tetapi juga menjadi fondasi penting dalam etika sosial Islam. Ia mengajarkan bahwa dalam masyarakat Islam, tidak ada tempat untuk mendiskrimiasii berdasarkan kondisi fisik atau status sosial. Setiap individu, apapun kondisinya, berhak mendapatkan perhatian, penghormatan, dan kesempatan yang sama untuk berkontribusi dan mengembangkan potensi dirinya.
Gema perjuangan Abdullah bin Ummi Maktum tentu tetap bisa dirasakan hingga hari ini. Di era di mana isu inklusivitas menjadi perhatian global, kisahnya menjadi sumber inspirasi yang tak pernah kering. Abdullah menunjukkan bahwa dengan dukungan masyarakat yang inklusif, setiap individu dapat mengembangkan potensinya secara maksimal, terlepas dari kondisi fisiknya. Teladannya mengajarkan kita pentingnya menciptakan lingkungan yang memberi kesempatan setara bagi semua orang untuk berkontribusi dan berprestasi.
Bayangkan sebuah dunia di mana setiap individu, terlepas dari kondisi fisiknya, memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi dan bersinar. Abdullah bin Ummi Maktum telah membuka jalan itu empat belas abad yang lalu. Kini, giliran kita untuk melanjutkan jejaknya, menciptakan masyarakat yang melihat potensi, bukan hambatan .
Suara Abdullah mungkin telah lama berhenti bergema di menara-menara Madinah. Namun, semangat dan teladannya terus hidup, memanggil kita untuk bangun dan menciptakan dunia yang lebih inklusif, layaknya adzan yang membangunkan umat dari tidur yang menggugah kita dari kelalaian, dan mengingatkan akan kesetaraan setiap manusia di hadapan Sang Maha Pencipta. []
Reporter: Syarif Sulaeman
Editor : Ajiwan