Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

268 Tahun Kota Yogyakarta; Memimpikan Inklusi Terimplementasi

Views: 64

Solidernews.com – Kota Yogyakarta tengah merayakan ulang tahun ke-268 dengan tema ‘Rikat, Rakit, Raket.’ Tema tersebut memiliki arti sangat mendalam, ‘Rikat’ menggambarkan kehidupan masyarakat Kota Jogja yang selalu bergerak cepat, ‘Rakit’ berarti proses saling melengkapi dan menyempurnakan, sedangkan ‘Raket’ mencerminkan kebersamaan yang saling mendukung.

Filosofi tersebut menjadi doa dan harapan bagi semua warganya, termasuk masyarakat difabel dalam mewujudkan Kota Jogja agar lebih baik lagi di usia yang sangat matang.

Sebagai pusat pemerintahan provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Kota Jogja tentu sudah banyak pencapaian, pengalaman, juga praktik baik dari kota yang dinamis, berkembang, maju, serta menjunjung nilai budaya dan tradisi leluhur.

Ya, budaya dan tradisi Kota Jogja harusnya tidak sekedar melakat dan dijadikan sebagai sumber komuditas pariwisata saja. Akan tetapi, setiap warganya mampu lebih menjiwai hingga mengakar. Budaya Jawa dan karakteristik  khas dari masyarakat yang terbuka, bertoleransi membuat Kota Jogja makin ramah terhadap siapapun, baik pendatang, wisatawan domestik maupun asing, bahkan ramah pada keberagaman, semisal pada warga difabel.

 

Potret Kota Yogyakarta dan peluang huni bagi difabel

Kota Jogja merupakan salah satu pusat pendidikan mulai dari pendidikan level dasar hingga perguruan tinggi, ilmuwan, dan aktivis pemerhati permasalahan sosial kemasyarakatan.

Yogyakarta yang masuk dalam kategori the best pada sektor layanan publik, juga dikenal sebagai tempat lahirnya aktivis bagi difabel yang berani bersikap kritis terhadap kebijakan, khususnya kebijakan tentang difabel. Kondisi ini menjadi daya tarik difabel untuk tinggal di Kota Jogja.

Nugraha, difabel Netra asal Purwodadi mengatakan sudah lebih dari sepuluh tahun tinggal di Kota Jogja yang sebelumnya pernah di ibu kota dan daerah lain. Menurut ia, tinggal di Kota Jogja menjadi favorit, masyarakat terbuka menerima pendatang, termasuk difabel.

“Saat saya datang ke Kota Jogja mencari kontrakan banyak pilihan dengan harga terjangkau, cari rezeki pun mudah meski bekerja di sektor informal. Warga difabel Kota Jogja bisa buka klinik pijat atau berdagang makanan,” ungkap ia.

Menurut Nughara, di Kota Jogja banyak difabel dengan profesi tersebut, bila dibandingkan kota lain mungkin sulit temukan ada difabel jualan di tengah kota atau menawarkan jasa lain.

Hisbul Muklis difabel Netra asal Cilacap juga mengaku betah tinggal di Jogja dengan keseharian berdagang camilan. Mulyati difabel fisik asal Ciamis juga memilih tinggal dan kerja kantoran di Kota Jogja.

Adam, salah satu pengemudi ojek online di Kota Jogja mengungkapkan dirinya sering mengantar warga difabel untuk beraktivitas, baik ke sekolah, kampus atau tempat kerja. Ia bahkan mengaku tidak menyangka bertemu banyak difabel di Kota Jogja.

“Saya kadang ngobrol dengan mereka, ternyata aktivitasnya banyak juga. Di Kota Jogja banyak  organisasi dan komunitas difabel.” terang ia.

Seringnya melintas di jalan, Adam kerap melihat difabel sedang berjalan yang dibantu orang sekitar. Ia berpendapat, Jogja kota yang sangat ramah dan bisa menerima difabel seperti warga lain.

Menurut warga difabel asli Kota Jogja, tanah kelahiran mereka sangat potensial menjadi kota inklusif. Kebijakan terkait inklusi disabilitas sudah ada Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No. 4 Tahun 2019 tentang Pemajuan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.

Kota Jogja secara karakter juga sangat terbuka dengan berbagai keberagaman, walaupun masih banyak persoalan hingga hari ini, misal di tingkat Kemantren/Kecamatan, sudah ada wadah bagi warga difabel setempat yaitu Forum Kemantren Inklusi (FKI) yang keberfungsiannya dapat terus dimaksimalkan.

 

Persoalan Inklusifitas di Kota Yogyakarta

Kota Jogja masih menyisakan berbagai pekerjaan rumah dan kendala menuju inklusivitas. Padahal, potensi inklusi serta keterbukaan masyarakat asli terhadap warga pendatang dan keberagaman mengalir begitu alami.

Sebagai kota yang ramah, kebebasan warga difabel asli maupun pendatang dalam beraktivitas dan berkehidupan di Kota Jogja masih perlu dukungan besar dari pemerintah.

Secara regulasi aksesibilitas layanan publik sudah ada. Pemerintah membuat kebijakan ini untuk mewujudkan pembangunan nasional yang bertujuan terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Semisal Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tenang Penyandang Disabilitas, khusus mengatur hak masyarakat difabel, dan sebelumnya pemerintah juga telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Namun, kenyataan di lapangan sarana layanan publik yang dibutuhkan masyarakat difabel masih minim. Hambatan aksesibilitas masih banyak ditemukan, arsitektural membuat difabel kehilangan haknya dalam mengakses layanan publik.

Pada regulasi pelayanan publik telah dengan tegas dijelaskan, pengaturan mengenai pelayanan publik untuk memberikan akses kemudahan bagi seluruh warga negara termasuk penduduk yang berkebutuhan khusus.

Sudah seharusnya kehadiran kebijakan tersebut menjadi pegangan pemerintah untuk memberikan layanan publik tanpa diskriminasi untuk memastikan masyarakat difabel bebas dari hambatan fisik dan psikologis dalam memperoleh hak mereka.

 

Yogyakarta terus berbenah diri menuju kota inklusi

Kota inklusif adalah kota yang memberi jaminan keterbukaan juga kebebasan bagi semua warga, menjamin ketersediaan layanan publik yang nyaman untuk semua, termasuk kelompok rentan dan difabel tanpa diskriminasi.

Prof. Dr. Arif Maftuhin, M.Ag., M.A.I.S, salah satu bagian dari Pusat Layanan Difabel (PLD) UIN Sunan Kalijaga, mengungkapkan ada empat indikator inklusivitas, yaitu partisipasi, ketersediaan, aksesibilitas, dan budaya inklusif.

Kota Jogja masih terus berbenah diri menuju inklusi, masih ada sektor-sektor kehidupan masyarakat Jogja yang perlu perhatian lebih dari semua pihak terutama pemerintah.

Misal, pada sektor pendidikan. Kota Jogja sudah lama mengklaim sebagai kota pendidikan inklusi, tapi belum semua siswa difabel dapat mengakses pendidikan. Mereka belum terakomodasi sepenuhnya.

Catatan semu tahun ajaran baru 2024 menunjukan 39 siswa difabel tidak terdaftar sebagai siswa di sekolah inklusi yang ada di Kota Jogja. Perubahan sistem PPDB jalur peserta didik difabel Kota Jogja menghilangkan peluang mereka untuk bisa masuk SMP Negeri karena terlempar dari sistem.

Jika empat tahun sebelumnya PPDB dilakukan secara offline dengan melibatkan Unit Layanan Disabilitas (ULD), tahun ajaran 2024/2025 kini berubah dengan cara sistem online.

Kurangnya sosialisasi, jadi penyebab cara pendaftaran online belum sepenuhnya diketahui warga yang memiliki anak difabel usia sekolah. Hal ini tentu harus menjadi perhatian intens pemerintah juga masyarakat pegiat isu difabel dan inklusivitas di Kota Jogja.

Berlanjut mengintai sektor aksesibilitas. Akses bagi pejalan kaki, jalur pemandu bagi difabel Netra, dan jalan landai (Ramp) bagi pengguna kursi roda atau kruk yang menunjang keterjangkauan dan disain universal pun masih langka. Sarana dan prasarana yang memudahkan, memadai bagi warga difabel maupun kelompok rentan lain masih sulit ditemukan.

Kawasan di tengah kota banyak melalukan pembenahan, tapi penggunaan fasilitas aksesibel tersebut belum optimal, banyak kesalah fungsian karena ketidak tahuan masyarakat terkait manfaat sarana tersebut. Contoh jalur pemandu bagi difabel Netra yang masih banyak digunakan pihak lain untuk lokasi berjualan atau tempat parkir kendaraan. Faktor keterbatasan lahan juga menjadi persoalan tersendiri yang tumpang tindih dengan berbagai kepentingan.

Mencermati sektor transportasi umum yang nyaman dan aman bagi difabel masih sebatas impian. Seperti transjogja, mode transportasi modern yang digadangkan dapat menjadi solusi transportasi perkotaan belum sepenuhnya mudah diakses difabel dan kelompok rentan lain.

Jalur landai atau pegangan agar aman bagi penumpang difabel saat naik turun di halte misalnya, belum tersedia maksimal sehingga masih menyulitkan, terlebih bagi difabel pengguna kursi roda. Kondisi tersebut membuat difabel memilih transportasi online yang tentu lebih mahal.

Dari semua persoalan yang masih ada di Kota Jogja, terdapat potensi dan praktik baik menuju kota inklusi. Pemerintah, masyarakat, dan semua pihak mesti terus berkolaborasi untuk selalu mengawal dan mengimplementasikan tiap regulasi yang berpihak untuk mewujudkan kota inklusi.

Peningkatan anggaran yang dikhususkan untuk pemenuhan hak difabel, pelayanan setara tanpa diskriminasi, pengawasan terhadap aksesibilitas fisik bagi difabel, serta sanksi tegas terhadap pelaku pelanggaran hak difabel menjadi alternatif saran dalam tawaran sebagai sebuah solusi. Dirgahayu Kota Yogyakarta[]

 

Penulis :Sri Hartanty

Editor :Ajiwan

 

Sumber referensi:

S Rahayu, U Dewi – Natapraja, 2013 – journal.uny.ac.id

LBW Putra – TheJournalish: Social and Government, 2024 – thejournalish.com

MF Al Faiq, S Suryaningsi – Nomos: Jurnal Penelitian Ilmu Hukum, 2021 – journal.actual-insight.com

https://perhubungan .jogjakota.go.id

 

 

 

 

 

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content